Sri Mulyani! Akhir-akhir ini, nama wanita ini sering tergaung di mana. Hampir semua media yang saya temui, baik itu media elektronik maupun media cetak memberitakannya. Sebenarnya, hal apa sih yang membuat sosok yang satu ini menjadi objek pembicaraan orang-orang seantero Indonesia, baik dari kalangan politis maupun sipil?
Marilah kita menengok sedikit ke belakang. Apakah anda masih mengingat kasus dana talangan bank Century? Nah….Nama Sri Mulyani adalah salah satu orang yang –sangat- terkait dengan kasus tersebut. Belum selesai masalah tersebut, namanya semakin hangat dibicarakan lantaran pengundurannya sebagai menteri keuangan pada Kabinet Indonesia bersatu dengan alasan akan menduduki sebuah jabatan baru di Bank Dunia di Washington DC Amerika Serikat. Tentunya, pengunduran dirinya yang telah disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut banyak menuai pro dan kontra. Masih banyak tanda Tanya besar terkait dengan keputusannya tersebut.
Mungkin saya – bahkan kawan-kawan pun – tak bisa memungkiri, betapa besarnya peran beliau dalam melepaskan belenggu krisis ekonomi pada tahun 2008 lalu. Ialah orang yang dengan gigih telah mengadakan reformasi di bidang keuangan, khususnya perpajakan dan bea cukai, sehingga perolehan Negara meningkat secara drastis. Sekarang, mau tak mau kita harus mengatakan bahwa ‘kita telah kehilangan salah satu menteri terbaik Indonesia’.
Wanita yang akrab dipanggil ‘Mbak Ani’ ini memang berbeda dengan wanita-wanita dalam dunia perpolitikan di ranah Nusantara pada umumnya. Keberanian beliau dalam menyampaikan yang benar itu adalah benar, dan yang keliru itu adalah keliru cukup menggambarkan sosoknya yang sangat kritis, lugas, dan jernih dalam menyampaikan pendapatnya. Tak pandang siapa yang dinilainya. Seakan-akan syaraf ketakutan telah hilang dari diri beliau, selama hal yang disampaikannya berdasar pada keyakinan diri sendiri. Namun kadang keyakinan tersebut disalah artikan oleh segelintir orang. Kita pun tak bisa menyalahkan mereka yang mengatakan bahwa keyakinan yang dimiliki oleh beliau lebih condong kepada sifat keras kepala, egois, egosentris, otoriter, bahkan arogan, karena secara politis keyakinan yang ada pada beliau lebih rawan dan mendekati sifat-sifat yang disebutkan di atas hal tersebut. Terlepas dari penilaian-penilaian negatif, Doktor Ekonomi ini patut diacungi jempol atas jerih payahnya dalam memajukan perekonomian Indonesia.
Mari sejenak kita melihat prestasi-prestasi yang didapatnya. Oleh Emerging Markets, beliau dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia tahun 2006 pada tanggal 18 September 2006 di sela Sidang Tahunan Bank Dunia dan IMF di Singapura. Tak hanya itu, ia juga terpilih menjadi wanita paling berpengaruh ke -2 di dunia versi majalah Forbes tahun 2008, bahkan menjadi wanita paling berpengaruh ke-2 di Indonesia versi majalah Globe Asia bulan Oktober 2007. Menurut saya pribadi, semua prestasi tersebut memang pantas disandang oleh beliau, hal ini sesuai dengan apa yang telah disumbangsihkannya selama pengabdian kepada Negara Indonesia.
Kembali pada permasalahan pengunduran Sri Mulyani dari jabatan menteri keuangan. Perlu anda ketahui, berbulan-bulan ia telah menjadi target dari premanisme politik. Mereka tak henti-hentinya membentak dan menghardik. Dan ketika media telah dikuasai, maka demonstrasi anti Sri Mulyani – dan Boediono – semakin gencar terdengar. Berisik dan agresif. Kita semua digiring dan dipaksa untuk mengklaim bahwa Sri Mulyani bukanlah lagi sebuah asset pemerintahan SBY. Ia dipaksa menjadi sebuah penyakit bagi perpolitikan Indonesia. Tak ayal lagi, para premanisme politik semakin angkuh ketika mereka telah berhasil meyakinkan Presiden untuk ikut menyudutkan Sri Mulyani.
Perpisahan ini memang berat , tapi juga terlalu ‘membahagiakan’ bagi segelintir orang. Tak perlulah kita menderetkan seluruh kecemasan yang ada, pun tak perlulah menunjukkan kesedihan yang mendalam. Mustahil bagi kita membiarkan Indonesia lumpuh tak berdaya. Intinya, kita harus sanggup menepis sinisme. Kita harus menjadi lebih arif dengan apa yang telah terjadi.
Sebuah fakta yang kita temukan, bahwa politik lebih dominan daripada moral dan profesionalisme. Namun, apakah kita akan berhenti di sini? Tidak!! Reformasi akan tetap terus dilanjutkan. Selama kita masih mempunyai komitmen untuk terus mencintai Indonesia. (Muhammad Qamaruddin)
Marilah kita menengok sedikit ke belakang. Apakah anda masih mengingat kasus dana talangan bank Century? Nah….Nama Sri Mulyani adalah salah satu orang yang –sangat- terkait dengan kasus tersebut. Belum selesai masalah tersebut, namanya semakin hangat dibicarakan lantaran pengundurannya sebagai menteri keuangan pada Kabinet Indonesia bersatu dengan alasan akan menduduki sebuah jabatan baru di Bank Dunia di Washington DC Amerika Serikat. Tentunya, pengunduran dirinya yang telah disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut banyak menuai pro dan kontra. Masih banyak tanda Tanya besar terkait dengan keputusannya tersebut.
Mungkin saya – bahkan kawan-kawan pun – tak bisa memungkiri, betapa besarnya peran beliau dalam melepaskan belenggu krisis ekonomi pada tahun 2008 lalu. Ialah orang yang dengan gigih telah mengadakan reformasi di bidang keuangan, khususnya perpajakan dan bea cukai, sehingga perolehan Negara meningkat secara drastis. Sekarang, mau tak mau kita harus mengatakan bahwa ‘kita telah kehilangan salah satu menteri terbaik Indonesia’.
Wanita yang akrab dipanggil ‘Mbak Ani’ ini memang berbeda dengan wanita-wanita dalam dunia perpolitikan di ranah Nusantara pada umumnya. Keberanian beliau dalam menyampaikan yang benar itu adalah benar, dan yang keliru itu adalah keliru cukup menggambarkan sosoknya yang sangat kritis, lugas, dan jernih dalam menyampaikan pendapatnya. Tak pandang siapa yang dinilainya. Seakan-akan syaraf ketakutan telah hilang dari diri beliau, selama hal yang disampaikannya berdasar pada keyakinan diri sendiri. Namun kadang keyakinan tersebut disalah artikan oleh segelintir orang. Kita pun tak bisa menyalahkan mereka yang mengatakan bahwa keyakinan yang dimiliki oleh beliau lebih condong kepada sifat keras kepala, egois, egosentris, otoriter, bahkan arogan, karena secara politis keyakinan yang ada pada beliau lebih rawan dan mendekati sifat-sifat yang disebutkan di atas hal tersebut. Terlepas dari penilaian-penilaian negatif, Doktor Ekonomi ini patut diacungi jempol atas jerih payahnya dalam memajukan perekonomian Indonesia.
Mari sejenak kita melihat prestasi-prestasi yang didapatnya. Oleh Emerging Markets, beliau dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia tahun 2006 pada tanggal 18 September 2006 di sela Sidang Tahunan Bank Dunia dan IMF di Singapura. Tak hanya itu, ia juga terpilih menjadi wanita paling berpengaruh ke -2 di dunia versi majalah Forbes tahun 2008, bahkan menjadi wanita paling berpengaruh ke-2 di Indonesia versi majalah Globe Asia bulan Oktober 2007. Menurut saya pribadi, semua prestasi tersebut memang pantas disandang oleh beliau, hal ini sesuai dengan apa yang telah disumbangsihkannya selama pengabdian kepada Negara Indonesia.
Kembali pada permasalahan pengunduran Sri Mulyani dari jabatan menteri keuangan. Perlu anda ketahui, berbulan-bulan ia telah menjadi target dari premanisme politik. Mereka tak henti-hentinya membentak dan menghardik. Dan ketika media telah dikuasai, maka demonstrasi anti Sri Mulyani – dan Boediono – semakin gencar terdengar. Berisik dan agresif. Kita semua digiring dan dipaksa untuk mengklaim bahwa Sri Mulyani bukanlah lagi sebuah asset pemerintahan SBY. Ia dipaksa menjadi sebuah penyakit bagi perpolitikan Indonesia. Tak ayal lagi, para premanisme politik semakin angkuh ketika mereka telah berhasil meyakinkan Presiden untuk ikut menyudutkan Sri Mulyani.
Perpisahan ini memang berat , tapi juga terlalu ‘membahagiakan’ bagi segelintir orang. Tak perlulah kita menderetkan seluruh kecemasan yang ada, pun tak perlulah menunjukkan kesedihan yang mendalam. Mustahil bagi kita membiarkan Indonesia lumpuh tak berdaya. Intinya, kita harus sanggup menepis sinisme. Kita harus menjadi lebih arif dengan apa yang telah terjadi.
Sebuah fakta yang kita temukan, bahwa politik lebih dominan daripada moral dan profesionalisme. Namun, apakah kita akan berhenti di sini? Tidak!! Reformasi akan tetap terus dilanjutkan. Selama kita masih mempunyai komitmen untuk terus mencintai Indonesia. (Muhammad Qamaruddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar