Selasa, 21 April 2009

KELEBAT…..


Meresahkan!

Kulit semakit memburat

Wajah semakin memucat

Ketakutan semakin mencuat

Cemas semakin kuat

Apa yang harus kubuat

Hati tak bisa lagi memuat

Lidah tak bisa lagi menyilat

Perasaan tak bisa lagi mengikat

Jiwa tak bisa lagi menyekat

Perbuatan tak bisa lagi melekat

Beban tak bisa lagi diangkat

Kalat! Sungguh kalat!

Kolot! Benar-benar kolot!

Kalut! Tak dinafikan kalut!

kilat kilat kilat!

Babat habis babat!

Ah! Mana sempat!

Sebentar lagi mangkat!


by : METAFORA

Rasulullah makan nasi? -cerita di sekitar saya-

Tv menampilkan tayangan bersiri dari Negara ginseng, Korea. Aku, Pinong, Alai, dan idang duduk bersimpuh di hadapan hidangan makan malam sambil menyaksikan tayangan siuk tersebut. Relak, tak ada beban, malah dari tadi aku senyum-senyum sendiri saat mengamati tingkah laku adik-adikku ini.

Selesai membaca doa makan, kami pun menyantap hidangan yang sudah tersedia. Ada ayam masak habang (makanan khas banjar) yang konon mama (yang di sini) berusaha keras mempelajari masakan tersebut supaya dapat memanjakan lidahku (begitu pula abah) yang asli orang banjar, ada sayur kangkung, ada telur masak merah, ada buah zaitun, ada abon, dan lainnya. Betapa besar nikmat yang dilimpahkan Allah kepada kami semua.

Aku berkonsentrasi dengan apa yang kumakan. Tak banyak berbicara. Adik-adikku pun tak banyak bercakap. Mata mereka masih tersihir oleh tayangan TV pada saat itu. Tak selang beberapa lama, Aliah setengah berteriak memanggilku, “Bang, si Idang makan berantakan!” aku mengalihkan perhatianku kepada si Idang, sang objek pembicaraan, dan benarlah apa yang dikatakan Alai, nasi berhamburan di samping-samping bawah piringnya. Eh, yang dibicarakan malah cuek bebek. Dengan sikapnya, membuatku jadi geleng-geleng kepala. Alai semakin sebal dengan Idang. Pinong cuma menengok sebentar, lalu meneruskan makannya. Matanya pun kembali menjelajahi layar TV.

Setelah beberapa lama kudiamkan, aku pun mengambil tindakan. Aku berkata kepada Idang, “Idang…..,” ujarku lembut.”makan jangan macam tu. Tak baik! Nasi jadi banyak berhamburan di bawah piring.” Tanpa menolehku, dia memandangi nasi-nasi yang berjatuhan di bawah piringnya. Tak ada tindakan selanjutnya. Dia mendengarkan nasehatku, tapi sepertinya masih belum mengerti apa yang harus dia lakukan. Idang meneruskan makannya.

“Idang….., Rasulullah selalu makan makanannya dengan bersih tak bersisa. Karena ini menandakan kesyukuran Beliau terhadap apa yang diberikan oleh Tuhan. Kalau Idang makan macam tu, nasinya banyak terbuang, artinya Idang tidak bersyukur,” jelasku. Idang menghentikan makannya. Pelan-pelan dia mulai membersihkan nasi-nasi yang berjatuhan. Dikumpulkannya nasi-nasi tersebut di satu tempat. Lebih bersih dari yang tadi.

Pinong akhirnya tertarik dengan perbincangan yang berlangsung tadi. TV kehilangan satu penontonnya. Alai bersuka cita seakan-akan ia menang suatu perlombaan. Aku menambahkan lagi, “Idang…..Jika makan nanti, kalau bisa jangan berhamburan lagi ya! Karena dikatakan di dalam sekumpulan nasi yang kita makan, hanya ada satu yang ada berkahnya. Nah! Apakah Idang tahu kira-kira yang mana yang ada berkahnya?” tak ada jawaban. Sepertinya ada rasa bersalah menghinggapinya. Matanya liar memandangi nasi yang ada di depannya. Rupanya dia mencari nasi berkah yang kumaksud tadi.

“Makan dulu lah Dang! Intinya makan jangan berhamburan lagi ya! Supaya nasi yang beberkah tersebut Idang dapatkan,” ujarku. Keadaan kembali tenang. Kami melanjutkan acara makan. Tiba-tiba Pinong bertanya kepadaku,” Bang…..zaman dulu, Rasulullah makan nasi jua kah?”

Sungguh aku terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Aku sudah salah sangka dengan yang anak yang satu ini. kusangka dia acuh tak acuh dengan perbincangan yang telah berlangsung. Rupanya otaknya terus berputar memikirkan keterangan-keterangan yang yang kuberikan untuk Idang. Beberapa saat aku sempat terdiam, lebih tepatnya aku terkejut dengan pertanyaan yang tidak kubayangkan sebelumnya. Bahkan hati kecilku pun juga berkata,’iya juga ya! Masa Nabi makan nasi?’ begitu celotehnya.

Tapi betapa malunya aku jika tidak bisa menjawabnya. Maka kujawab sekenanya saja tapi meyakinkan.

“Begini Pinong, ini bukan berkenaan dengan nabi makan nasi atau tidak, tapi lebih kepada makanan yang berantakan dan berjatuhan, atau tentang bagaimana kita mensyukuri makanan yang diberikan Tuhan kepada kita.”

“Kata Abang tadi, di antara nasi-nasi yang kita makan, hanya ada satu yang ada berkahnya. Macam mana tu? Makanya saya tanya apa Rasulullah makan nasi juakah?” Dia kembali bertanya.

“Tentu semua orang telah mengetahui bahwa tidak ada nasi pada zaman Rasulullah, dan itu hingga masa sekarang, Pinong! Kenapa? Karena nasi bukanlah makanan pokok untuk daerah Timur Tengah tempat lahirnya rasulullah! Mereka makannya roti. Nah! Pada zaman Rasulullah pun makannya roti juga. Maksud abang tadi begini Pinong, kesyukuran! Ingat! Kesyukuran yang kita miliki! Nabi selalu menghabiskan makanan yang dimakannya. Oke! Kita misalkan di sini Beliau makan roti, dikatakan bahwa Beliau meyakini bahwa rempahan-rempahan roti pun bisa jadi adalah berkah dari satu bentuk roti, artinya mau tidak mau Beliau harus makan seluruh roti tanpa ada sisa jika mau mendapatkan berkah. Itulah yang Abang maksud! Jika itu diumpamakan adalah nasi, mungkin hanya salah satu dari nasi yang kita makan yang ada berkahnya,” jelasku panjang lebar. Tak tahu apakah keterangan yang kuberikan ini benar atau salah pada saat itu. Aku memang harus mengakui masih minimnya pengetahuanku.

“oh begitu ya….,” hanya itu tanggapannya. Jelas! Sangat jelas sekali ketidakpuasan akan keterangan yang kusampaikan padanya tadi. Masih ada yang mengganjal. Kurasa dia tidak mau menyulitkan abangnya yang juga saat itu kebingungan mencari jawaban.

Sikap kritis Ali memang suatu keistimewaan tersendiri yang dimilikinya. Dia selalu tidak menerima suatu pernyataan jika hal tersebut masih terasa mengganjal di hatinya. Dia tidak akan menerimanya mentah-mentah sebelum jelas di kepalanya.

Mungkin karena keterkejutanku akan pertanyaan tersebut, makanya jawabanku yang kusampaikan sangatlah tidak memuaskan. Namun beberapa hari setelahnya, aku kembali menjelaskan perihal tersebut. Dan aku baru menyadari ada yang salah dari keteranganku kepada Idang maupun kepadanya sebelumnya. Alhamdulillah, dia paham.

Anda pun mungkin sekarang sudah tahu jawabannya.

Kawan baik






























Nih perkenalin! Teman saya, namanya Syamsuddin. Asli orang arab. Ngambil master di UNISSA jurusan Usuluddin. Di sini pun kami sama-sama berjuang. Seperti saya, dia pun tidak mendapat jatah makan alias kupon makan (biasanya disediakan untuk international student), makanya kami sama-sama masak. Dia punya rice cooker, saya punya beras, nah! Masak deh!

Trus….perempuan-perempuan cantik itu? Oh! itu student JIS (Jerudong International School), setingkat SMA kalau di Indonesia. Kebanyakan yang sekolah di sana adalah anakorang asing yang bekerja di Brunei Darussalam, tapi ada juga lah yang asli orang Brunei.

Mereka berdua adalah dua kakak beradik yang datang ke acara pertemuan orang-orang Padang di UBD. Pertemuan orang-orang Padang? Apa hubungannya dengan mereka ya? Oh! ternyata Bapanya adalah Arab-Padang (kalau ibunya asli Padang), makanya mukanya seperti orang arab. Saya pun tersenyum sendiri ketika menanyakan nama mereka tapi dengan memakai bahasa arab, eh…malah tidak bisa jawab. Ternyata muka saja arab, bicara bahasa arab pun tak bisa!

Entah kenapa pada saat itu si Sammy (panggilan si Syamsuddin) minta diphotokan bersama mereka. katanya sih cantik. Ha ha! Ingat-ingat tu istri di rumah! Sudah punya istri masih suka liat perempuan lain, pantesnya tu orang untuk saya! Eits! Astaghfirullah! Udah! Yang penting dua anak cantik tersebut (saya lupa minta namanya) mau diphoto bersama. Pikir-pikir, daripada si Sammy enak sendiri, mendingan saya juga ikut photo. Makanya tuh, ada yang ikut nimbrung.

Tapi kalau dilihat-lihat, dua perempuan ini cantik juga ya.


KUTERBITKAN MATAHARIKU SENDIRI (1)

Kujajaki tanah asing ini. Hembusan angin bercampur serpihan debu menerpa wajahku yang pastinya terlihat sangat letih. Kutatapi mega awan yang beriringan mencari tempat yang paling tepat baginya menebarkan pesona alam. Brunei Darussalam! Sebuah Negara dengan sejuta janji ini telah menjadi tempat persinggahanku. Negara dengan kultur melayu islam beraja, Negara kecil namun melayani rakyatnya dengan penuh khidmat ini, begitu syahdu, damai, dan aman sentosa. Kadang aku berkhayal, akankah Negaraku bisa menjelma sepertinya? Ah! Suatu saat! Aku yakin suatu saat nanti negaraku tercinta pasti menjadi sebuah Negara seperti yang telah diimpikan segenap pahlawan nasional.
Sebenarnya aku pun tak tahu, apa yang aku inginkan dengan ketibaanku di sini. Semuanya masih berkelebat tak jelas di hadapanku. Ada yang berkata aku akan disekolahkan, ada yang berkata aku akan mengajar di sekolah, bahkan ada yang berkata aku akan menjadi seorang pembantu (Tenaga Kerja Indonesia). Kata-kata orang yang tak jelas, tidak bisa dijadikan patokan.
Aku tak bisa menafikan tutur hati kecilku menyatakan rasa rindu kepada bangku sekolah. Ya! Aku ingin sekali melanjutkan sekolahku. Aku tak ingin bekerja! Itu terlalu dini bagiku. Tapi jika memang keadaaan memaksaku untuk bekerja, aku tak bisa berbuat apa-apa. Apalah artinya diriku di hadapan Tuhan yang mempunyai kuasa atas makhluqnya yang lemah ini.
Akhirnya aku menyadari bahwa keinginan tersebut hanyalah angan belaka. Sangat amat tidak mungkin aku dapat melanjutkan sekolah, apalagi di negeri yang pastinya mempunyai pemasukan yang ketat bagi pelajarnya. Bahkan aku melihat sendiri betapa sulitnya masuk universitas di negeriku sendiri, Indonesia. Yang kupunya hanyalah sebuah ijazah aliyah dengan nilai yang pas-pasan, tak lebih dari itu.
Tapi apa yang diucapkan Abahku kepadaku membuat diriku terharu. Kamu harus sekolah Bagaimanapun caranya! Sungguh, inilah ucapan yang kunanti-nantikan. Tapi muncul sebuah pertanyaan baru, bagaimana caranya? Di sinilah Abahku menjadi sang motivator bagiku, beliau berkata bahwa tak ada yang tak mungkin.
Di sinilah perjuanganku dimulai. Kusingsing lengan tanganku untuk mendapatkan yang terbaik, walaupun kadang aku merasa risih dengan pemikiran orang-orang di kampungku, baik dari keluargaku maupun dari teman-temanku Mereka semua berpendapat bahwa aku sangat bahagia. Mereka kira aku mendapatkan semua itu semudah membalikkan tangan. Mereka mengira bahwa aku mendapatkannya secara instant. Seandainya mereka menjadi diriku, maka mungkin kebanyakan dari mereka yang akan menyerah dan balik ke kampung halaman. Namun aku telah membuktikan sesuatu yang tidak menjadi tidak mungkin. Kuterbitkan matahariku sendiri!