Namun, semuanya terasa sangat berbeda sekali sejak aku memutuskan untuk memasuki Fakultas Kedokteran di sebuah Universitas ternama di kotaku. Nilaiku yang selalu di atas rata-rata, membuat pihak pondok pesantren menawarkan aku sebuah kesempatan untuk melanjutkan studi ke universitas tersebut dengan biaya yang akan ditanggung oleh pihak pondok pesantren sampai selesai studi. Konsekuensinya, Apabila aku menerima tawaran tersebut, maka ketika aku telah menghabiskan kuliah, pondok pesantren akan menjadi tempatku mengamalkan ilmu yang telah kudapatkan, atau orang sering menyebutknya dengan ‘pengabdian’. Semacam hubungan timbal balik.
Semula aku merasa enggan untuk menerima tawaran tersebut. Alasannya, universitas yang ditawarkan adalah universitas umum. Mungkin sangat sulit bagiku untuk menyesuaikan diri, apalagi aku memang telah terbiasa berkutat dengan kitab-kitab yang berhubungan dengan agama. Seandainya boleh memilih, maka aku ingin masuk universitas yang berlabel islami, ketimbang masuk ke universitas umum yang pergaulannya – mungkin – lebih bebas.
Setelah dibujuk oleh pihak pondok pesantren dan orang tuaku – yang juga mendukung tawaran tersebut karena mereka memang tidak punya biaya lagi untuk menyekolahkanku – akhirnya aku pun menerima tawaran tersebut. Maka jadilah aku seorang mahasiswi Fakultas kedokteran dengan ‘background’ pondok pesantren!
* * *
Waktu merambat sedikit demi sedikit. Hampir empat bulan sudah lamanya aku menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswi. Walaupun suasana telah berbeda dengan suasana yang kurasakan pada saat di pondok pesantren dahulu, hal tersebut tidak menggoyangkan keyakinanku untuk menjalankan agama dengan baik. Contoh, meskipun hanya minoritas mahasiswi yang memakai jilbab di kampus, ini tidak mempengaruhiku untuk – semoga saja tidak terjadi! – menanggalkan penutup aurat bagi kaum hawa tersebut di kalangan umat islam. Aku tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah yang dilaksanakan di mushalla yang ada di kampus, Aku pun tetap menjalankan etika bergaul seperti yang diajarkan oleh pondok pesantren. Aku bersyukur tidak ada orang yang merasa risih dengan sikapku walaupun kadang kawan-kawanku merasa kalau aku ‘terlalu alim’.
“Apa kamu tidak takut terpengaruh dengan
“Alhamdulillah sampai saat ini aku masih bisa menjalankan ajaran-ajaran yang telah kudapat di sekolahku dulu,” ujarku tenang seraya menerima teh hangat pesananku yang dibawakan oleh salah satu pelayan kantin. Tiwi diam sejenak merenungkan jawabanku tadi.
“Sebenarnya dulu aku juga pernah bertekad seperti kamu. Tapi kenyataannya, kau lihat sendiri
Pada awalnya aku sangat kecewa dengan keputusannya. Tapi apa daya, ia telah terpengaruh dengan style hidup baru yang ia kenal saat ini. Aku hanya bisa mendoakan semoga ia kembali seperti Tiwi yang dulu, paling tidak kembali menutup rambutnya dengan jilbab.
Hari-hari ‘super’ biasa kujalani di kampus. Tak ada yang istimewa. Ani yang sekarang tetaplah Ani yang dulu, walaupun berada pada tempat yang sangat berbeda.
* * *
“Besok siang kita akan mengadakan rapat. Saya harapkan semuanya dapat berhadir.” Seorang laki-laki menyampaikan pesan tersebut di depanku dan kawan-kawan yang lain.
Ka’ Nasrul Arifin, seorang mahasiswa satu fakultas denganku. Aku mengenalnya sejak aku mengikuti sebuah organisasi keagamaan yang ada di kampus. Sebagai ketua organisasi, tentulah semua anggota mengenalnya.
Aku sangat antusias mengikuti kegiatan yang diadakan oleh organisasi yang kuikuti ini, sebab hampir semua kegiatannya selalu berhubungan dengan agama. Sebagai senioran kami, Ka’ Nasrul, sang ketua organisasi ini selalu membimbing dan mengajari kami hal-hal yang akan dilakukan ketika akan mengadakan kegiatan.
Menurutku pribadi, ia adalah sosok seorang pria idaman wanita. Tidak hanya berwibawa, ia juga mempunyai wajah yang tampan. Maka tidak heran jika banyak mahasiswi di kampus yang naksir kepadanya. Namun, ada satu hal yang perlu diingat, Ka’ Nasrul adalah seorang yang taat beragama. Makanya, dia kurang tertarik dengan wanita yang ingin mengajaknya berhubungan lebih dari sekedar ‘berteman’. Namun bukan berarti ia menutup diri dengan lawan jenis. Ia adalah orang yang sangat supel dan senang bergaul dengan siapa saja. Sangat jauh berbeda dengan keadaanku.
Terus terang, aku masih merasa asing dengan yang namanya laki-laki – kecuali Bapakku serta Kakakku - , aku masih agak canggung jika berhadapan dengan mereka. Adalah Ka’ Nasrul, orang pertama yang bisa membuatku agak lebih tenang jika berhadapan dengan lawan jenis. Ia mengajarkan aku bagaimana etika berbicara dengan lawan jenis supaya lebih menarik namun tetap sopan menurut agama.
Sejak aku mengenalnya, dan ia pun mengenalku, lambat laun kami semakin dekat. Bahkan aku tidak pernah berfikir akan sedekat ini. Ia sering menanyakan kabarku, bahkan mungkin terlalu sering. Ia juga selalu memperhatikan aku di kampus.
“Kamu berbeda dari perempuan-perempuan yang kukenal di kampus ini,” ujarnya kepadaku suatu hari. Mukaku memerah mendengarnya. Ia tertawa melihat gelagatku pada saat itu.
Memang kawan-kawan perempuan satu kampus denganku mengatakan kalau sebenarnya aku ini cantik, namun kecantikan tersebut telah tertutupi oleh kekakuanku dalam bergaul.
“Seandainya saja kamu mau lebih dan nakal sedikit saja, aku yakin kamu pasti akan pacar, hahaha……?” Canda Tiwi kepadaku. Aku hanya nyengir menanggapinya. Centil? Nakal? Naudzubillah! Mana mungkin aku melakukan hal tersebut!
Pada kenyataannya, imejku sebagai ‘perempuan kaku’ toh masih masih menarik beberapa perhatikan laki-laki. Bukan! Bukan aku yang sengaja menarik perhatian mereka, tetapi mereka yang memang tertarik kepadaku. Sebut saja Yudhi, Rafi, Yoyo, Amin, Rizal, Yadi, semuanya terang-terangan mengaku suka kepadaku. Untungnya aku tidak bergeming, aku tetap pada pendirianku. Tak ada hubungan lebih dari pertemanan!
Tapi entah kenapa keyakinanku tersebut seakan meleleh di hadapan Ka’ Nasrul. Sosoknya memang lain dari semua laki-laki yang kukenal. Perhatiannya tidak berlebihan. Apa adanya. Walaupun ia adalah seorang aktivis, ia tetap seorang yang taat beragama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di mushalla kampus, bahkan kadang-kadang ia menjadi imam shalat di mushalla tersebut.
Jujur, aku memang memendam perasaan kepadanya. Hanya memendam! Tidak lebih dari itu. Tuhan tidak pernah melarang umatnya untuk mencintai, asalkan berada pada jalur yang benar.
Hingga pada suatu hari, ia memanggilku, “Ani, ada yang Kakak ingin bicarakan….”
* * *
Sudah empat bulan aku jadian dengan Ka’ Nasrul. Selama itulah aku mengenal yang namanya pacaran. Ucapan Ka’ Nasrul ketika itu, ‘I love you because Allah’ telah menyihirku. Meskipun pada awalnya aku harus meminta waktu yang cukup lama untuk berfikir, Ka’ Nasrul tak mengekangku. Ia memberikan kebebasan penuh kepadaku dalam menentukan pilihan. Lama sekali aku berfikir. Apakah ini baik? Atau malah sebaliknya?
Akhirnya aku memutuskan untuk menerima Ka’ Nasrul. Aku tak bisa menyangkal kalau aku juga menyukainya. Ka’ Nasrul adalah orang baik. Dia taat beragama. Pasti dia bisa memahami bagaimana caranya memperlakukan diriku agar tak terlepas dari norma-norma agama. Akhirnya tekadku untuk tidak pacara luluh lantak. Tapi aku tidak menyesalinya karena laki-laki yang datang kepadaku ini bukanlah laki-laki biasa. Dialah Ka’ Nasrul!
* * *
“Tapi kenapa, Ani?” Kata Ka’ Nasrul dengan wajah sedih.
“Kurasa ini adalah jalan yang terbaik, Ka’…,” jawabku tenang walaupun terasa sesak di dada.
“Ani…kurasa kita perlu membicarakannya dengan baik-baik,” sambung Ka’ Nasrul.
“Aku rasa saat ini pun aku sudah berbicara dengan baik-baik,” aku diam sejenak. Tak ada tanggapan dari Ka’ Nasrul. Ia hanya diam membisu. Aku kemudian melanjutkan percakapanku, “Memang Ka’…aku tidak bisa mengingkari kalau aku sayang dan cinta sama Ka’ Nasrul, tapi jika aku boleh bertanya, apakah benar kalau yang namanya cinta itu harus diwujudkan dengan yang namanya pacaran, Ka’? jika ya, kenapa sampai saat ini aku belum pernah mendapatkan yang namanya pacaran dalam kamus agamaku?”
“Saat ini aku memang terbiasa dengan adanya Kaka’, aku merasa nyaman jika bersama Kaka’, aku merasa tenang jika ada di dekat Kaka’. Tapi, apakah kita sudah berada pada jalur yang benar yang dituntut oleh agama? Aku yakin, Kaka’ mungkin lebih tahu daripada aku tentang jawabannya.” Saat itu Ka’ Nasrul hanya menundukkan kepalanya.
“Kita sering bertatap muka, apa itu tidak salah? Kita sering berpegangan tangan, apa itu tidak salah? Kita sering berduaan, apa itu tidak salah? Kita sering boncengan bersama, apa itu tidak salah? Bahkan, aku pernah membohongi orang tuaku hanya untuk bisa jalan-jalan bersama Kaka’, apa itu juga tidak salah? Ka’, kita tahu agama, kita paham akan agama, tapi kenapa kita masih melakukan ini?”
“Aku bersyukur kepada Tuhan karena masih disadarkan akan kesalahan fatalku ini, walaupun mungkin agak terlambat karena hal ini sudah berjalan cukup lama.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Ani? Aku…aku sudah terlanjur sayang kepadamu…,” Ka’ Nasrul mengiba.
“Aku memohon maaf kepada Kaka’, tapi kita harus tegas dalam memutuskan hal ini.” Tak terasa air mataku telah merembes keluar.
Awan mendung berarak mendekati langit tempat kami berdiri. Alam menjadi saksi bisu sebuah cerita manusia. Ya Allah…Ya Allah….
* * *
Hari cerah. Burung-burung bernyanyi seakan menyambut sang mentari. Aku bergegas pergi ke kampus.
Sejak kejadian itu, aku dan Ka’ Nasrul hanya menjadi teman biasa. Tak lebih dari itu. Aku bersyukur karena masih bisa mempertahankan keyakinanku. Aku bangga bisa terhindar dari mengalirnya sebuah dosa kepadaku.
Aku masih ingat kata salah satu ustadzahku saat aku masih berada di pondok pesantren, ‘Jodoh itu di tangan Tuhan, maka persiapkanlah dirimu untuk pasanganmu. Halalkanlah hubunganmu tersebut dengan pernikahan’.
Sebuah pernikahan! Ah! Aku merasa malu jika memikirkannya. Kadang aku bertanya kepada diriku sendiri, siapakah yang akan menjadi pasanganku kelak? Apakah Ka’ Nasrul? Atau yang lainnya? Hanya Allah-lah yang mampu menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar