Kamis, 19 Agustus 2010

ANI, CINTA, DAN KEMUNAFIKAN

Namaku Ani Hasanah. Biasanya kawan-kawanku memanggilku Ani. Hari ini aku untuk pertama kalinya menjajaki sebuah dunia baru yang sangat asing bagiku. Dunia perkuliahan! Sebelumnya aku adalah seorang santriwati di sebuah Pondok Pesantren di kota tempat tinggalku. Enam tahun lamanya aku berada di sana, dan selama itulah aku menerima segala pelajaran khas ‘pondok pesantren’. Shalat berjamaah, mengaji, membaca dan menulis huruf arab, dan lain sebagainya. Tak bisa kunafikan, pondok pesantren telah membentuk karakterku saat ini.

Namun, semuanya terasa sangat berbeda sekali sejak aku memutuskan untuk memasuki Fakultas Kedokteran di sebuah Universitas ternama di kotaku. Nilaiku yang selalu di atas rata-rata, membuat pihak pondok pesantren menawarkan aku sebuah kesempatan untuk melanjutkan studi ke universitas tersebut dengan biaya yang akan ditanggung oleh pihak pondok pesantren sampai selesai studi. Konsekuensinya, Apabila aku menerima tawaran tersebut, maka ketika aku telah menghabiskan kuliah, pondok pesantren akan menjadi tempatku mengamalkan ilmu yang telah kudapatkan, atau orang sering menyebutknya dengan ‘pengabdian’. Semacam hubungan timbal balik.

Semula aku merasa enggan untuk menerima tawaran tersebut. Alasannya, universitas yang ditawarkan adalah universitas umum. Mungkin sangat sulit bagiku untuk menyesuaikan diri, apalagi aku memang telah terbiasa berkutat dengan kitab-kitab yang berhubungan dengan agama. Seandainya boleh memilih, maka aku ingin masuk universitas yang berlabel islami, ketimbang masuk ke universitas umum yang pergaulannya – mungkin – lebih bebas.

Setelah dibujuk oleh pihak pondok pesantren dan orang tuaku – yang juga mendukung tawaran tersebut karena mereka memang tidak punya biaya lagi untuk menyekolahkanku – akhirnya aku pun menerima tawaran tersebut. Maka jadilah aku seorang mahasiswi Fakultas kedokteran dengan ‘background’ pondok pesantren!

* * *

Waktu merambat sedikit demi sedikit. Hampir empat bulan sudah lamanya aku menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswi. Walaupun suasana telah berbeda dengan suasana yang kurasakan pada saat di pondok pesantren dahulu, hal tersebut tidak menggoyangkan keyakinanku untuk menjalankan agama dengan baik. Contoh, meskipun hanya minoritas mahasiswi yang memakai jilbab di kampus, ini tidak mempengaruhiku untuk – semoga saja tidak terjadi! – menanggalkan penutup aurat bagi kaum hawa tersebut di kalangan umat islam. Aku tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah yang dilaksanakan di mushalla yang ada di kampus, Aku pun tetap menjalankan etika bergaul seperti yang diajarkan oleh pondok pesantren. Aku bersyukur tidak ada orang yang merasa risih dengan sikapku walaupun kadang kawan-kawanku merasa kalau aku ‘terlalu alim’.

“Apa kamu tidak takut terpengaruh dengan gaya hidup di luar?” Tanya Tiwi, teman dekatku di kampus, saat kami berada di kantin.

“Alhamdulillah sampai saat ini aku masih bisa menjalankan ajaran-ajaran yang telah kudapat di sekolahku dulu,” ujarku tenang seraya menerima teh hangat pesananku yang dibawakan oleh salah satu pelayan kantin. Tiwi diam sejenak merenungkan jawabanku tadi.

“Sebenarnya dulu aku juga pernah bertekad seperti kamu. Tapi kenyataannya, kau lihat sendiri kan…,” Tiwi menatap mataku dalam-dalam seakan-akan ingin memberitahukan keadaannya sekarang. Tiwi sekarang bukanlah Tiwi yang kukenal beberapa bulan yang lalu. Ia telah menanggalkan jilbab yang menjadi kebanggaan wanita muslimah. Ia telah mengubah gaya hidupnya.

Pada awalnya aku sangat kecewa dengan keputusannya. Tapi apa daya, ia telah terpengaruh dengan style hidup baru yang ia kenal saat ini. Aku hanya bisa mendoakan semoga ia kembali seperti Tiwi yang dulu, paling tidak kembali menutup rambutnya dengan jilbab.

Hari-hari ‘super’ biasa kujalani di kampus. Tak ada yang istimewa. Ani yang sekarang tetaplah Ani yang dulu, walaupun berada pada tempat yang sangat berbeda.

* * *

“Besok siang kita akan mengadakan rapat. Saya harapkan semuanya dapat berhadir.” Seorang laki-laki menyampaikan pesan tersebut di depanku dan kawan-kawan yang lain.

Ka’ Nasrul Arifin, seorang mahasiswa satu fakultas denganku. Aku mengenalnya sejak aku mengikuti sebuah organisasi keagamaan yang ada di kampus. Sebagai ketua organisasi, tentulah semua anggota mengenalnya.

Aku sangat antusias mengikuti kegiatan yang diadakan oleh organisasi yang kuikuti ini, sebab hampir semua kegiatannya selalu berhubungan dengan agama. Sebagai senioran kami, Ka’ Nasrul, sang ketua organisasi ini selalu membimbing dan mengajari kami hal-hal yang akan dilakukan ketika akan mengadakan kegiatan.

Menurutku pribadi, ia adalah sosok seorang pria idaman wanita. Tidak hanya berwibawa, ia juga mempunyai wajah yang tampan. Maka tidak heran jika banyak mahasiswi di kampus yang naksir kepadanya. Namun, ada satu hal yang perlu diingat, Ka’ Nasrul adalah seorang yang taat beragama. Makanya, dia kurang tertarik dengan wanita yang ingin mengajaknya berhubungan lebih dari sekedar ‘berteman’. Namun bukan berarti ia menutup diri dengan lawan jenis. Ia adalah orang yang sangat supel dan senang bergaul dengan siapa saja. Sangat jauh berbeda dengan keadaanku.

Terus terang, aku masih merasa asing dengan yang namanya laki-laki – kecuali Bapakku serta Kakakku - , aku masih agak canggung jika berhadapan dengan mereka. Adalah Ka’ Nasrul, orang pertama yang bisa membuatku agak lebih tenang jika berhadapan dengan lawan jenis. Ia mengajarkan aku bagaimana etika berbicara dengan lawan jenis supaya lebih menarik namun tetap sopan menurut agama.

Sejak aku mengenalnya, dan ia pun mengenalku, lambat laun kami semakin dekat. Bahkan aku tidak pernah berfikir akan sedekat ini. Ia sering menanyakan kabarku, bahkan mungkin terlalu sering. Ia juga selalu memperhatikan aku di kampus.

“Kamu berbeda dari perempuan-perempuan yang kukenal di kampus ini,” ujarnya kepadaku suatu hari. Mukaku memerah mendengarnya. Ia tertawa melihat gelagatku pada saat itu.

Memang kawan-kawan perempuan satu kampus denganku mengatakan kalau sebenarnya aku ini cantik, namun kecantikan tersebut telah tertutupi oleh kekakuanku dalam bergaul.

“Seandainya saja kamu mau lebih dan nakal sedikit saja, aku yakin kamu pasti akan pacar, hahaha……?” Canda Tiwi kepadaku. Aku hanya nyengir menanggapinya. Centil? Nakal? Naudzubillah! Mana mungkin aku melakukan hal tersebut!

Pada kenyataannya, imejku sebagai ‘perempuan kaku’ toh masih masih menarik beberapa perhatikan laki-laki. Bukan! Bukan aku yang sengaja menarik perhatian mereka, tetapi mereka yang memang tertarik kepadaku. Sebut saja Yudhi, Rafi, Yoyo, Amin, Rizal, Yadi, semuanya terang-terangan mengaku suka kepadaku. Untungnya aku tidak bergeming, aku tetap pada pendirianku. Tak ada hubungan lebih dari pertemanan!

Tapi entah kenapa keyakinanku tersebut seakan meleleh di hadapan Ka’ Nasrul. Sosoknya memang lain dari semua laki-laki yang kukenal. Perhatiannya tidak berlebihan. Apa adanya. Walaupun ia adalah seorang aktivis, ia tetap seorang yang taat beragama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di mushalla kampus, bahkan kadang-kadang ia menjadi imam shalat di mushalla tersebut.

Jujur, aku memang memendam perasaan kepadanya. Hanya memendam! Tidak lebih dari itu. Tuhan tidak pernah melarang umatnya untuk mencintai, asalkan berada pada jalur yang benar.

Hingga pada suatu hari, ia memanggilku, “Ani, ada yang Kakak ingin bicarakan….”

* * *

Sudah empat bulan aku jadian dengan Ka’ Nasrul. Selama itulah aku mengenal yang namanya pacaran. Ucapan Ka’ Nasrul ketika itu, ‘I love you because Allah’ telah menyihirku. Meskipun pada awalnya aku harus meminta waktu yang cukup lama untuk berfikir, Ka’ Nasrul tak mengekangku. Ia memberikan kebebasan penuh kepadaku dalam menentukan pilihan. Lama sekali aku berfikir. Apakah ini baik? Atau malah sebaliknya?

Akhirnya aku memutuskan untuk menerima Ka’ Nasrul. Aku tak bisa menyangkal kalau aku juga menyukainya. Ka’ Nasrul adalah orang baik. Dia taat beragama. Pasti dia bisa memahami bagaimana caranya memperlakukan diriku agar tak terlepas dari norma-norma agama. Akhirnya tekadku untuk tidak pacara luluh lantak. Tapi aku tidak menyesalinya karena laki-laki yang datang kepadaku ini bukanlah laki-laki biasa. Dialah Ka’ Nasrul!

* * *

“Tapi kenapa, Ani?” Kata Ka’ Nasrul dengan wajah sedih.

“Kurasa ini adalah jalan yang terbaik, Ka’…,” jawabku tenang walaupun terasa sesak di dada.

“Ani…kurasa kita perlu membicarakannya dengan baik-baik,” sambung Ka’ Nasrul.

“Aku rasa saat ini pun aku sudah berbicara dengan baik-baik,” aku diam sejenak. Tak ada tanggapan dari Ka’ Nasrul. Ia hanya diam membisu. Aku kemudian melanjutkan percakapanku, “Memang Ka’…aku tidak bisa mengingkari kalau aku sayang dan cinta sama Ka’ Nasrul, tapi jika aku boleh bertanya, apakah benar kalau yang namanya cinta itu harus diwujudkan dengan yang namanya pacaran, Ka’? jika ya, kenapa sampai saat ini aku belum pernah mendapatkan yang namanya pacaran dalam kamus agamaku?”

“Saat ini aku memang terbiasa dengan adanya Kaka’, aku merasa nyaman jika bersama Kaka’, aku merasa tenang jika ada di dekat Kaka’. Tapi, apakah kita sudah berada pada jalur yang benar yang dituntut oleh agama? Aku yakin, Kaka’ mungkin lebih tahu daripada aku tentang jawabannya.” Saat itu Ka’ Nasrul hanya menundukkan kepalanya.

“Kita sering bertatap muka, apa itu tidak salah? Kita sering berpegangan tangan, apa itu tidak salah? Kita sering berduaan, apa itu tidak salah? Kita sering boncengan bersama, apa itu tidak salah? Bahkan, aku pernah membohongi orang tuaku hanya untuk bisa jalan-jalan bersama Kaka’, apa itu juga tidak salah? Ka’, kita tahu agama, kita paham akan agama, tapi kenapa kita masih melakukan ini?”

“Aku bersyukur kepada Tuhan karena masih disadarkan akan kesalahan fatalku ini, walaupun mungkin agak terlambat karena hal ini sudah berjalan cukup lama.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan, Ani? Aku…aku sudah terlanjur sayang kepadamu…,” Ka’ Nasrul mengiba. Ada setitik air mata jelas mengalir di matanya.

“Aku memohon maaf kepada Kaka’, tapi kita harus tegas dalam memutuskan hal ini.” Tak terasa air mataku telah merembes keluar.

Awan mendung berarak mendekati langit tempat kami berdiri. Alam menjadi saksi bisu sebuah cerita manusia. Ya Allah…Ya Allah….

* * *

Hari cerah. Burung-burung bernyanyi seakan menyambut sang mentari. Aku bergegas pergi ke kampus.

Sejak kejadian itu, aku dan Ka’ Nasrul hanya menjadi teman biasa. Tak lebih dari itu. Aku bersyukur karena masih bisa mempertahankan keyakinanku. Aku bangga bisa terhindar dari mengalirnya sebuah dosa kepadaku.

Aku masih ingat kata salah satu ustadzahku saat aku masih berada di pondok pesantren, ‘Jodoh itu di tangan Tuhan, maka persiapkanlah dirimu untuk pasanganmu. Halalkanlah hubunganmu tersebut dengan pernikahan’.

Sebuah pernikahan! Ah! Aku merasa malu jika memikirkannya. Kadang aku bertanya kepada diriku sendiri, siapakah yang akan menjadi pasanganku kelak? Apakah Ka’ Nasrul? Atau yang lainnya? Hanya Allah-lah yang mampu menjawabnya.

SELAMAT JALAN ‘SRI MULYANI’

Sri Mulyani! Akhir-akhir ini, nama wanita ini sering tergaung di mana. Hampir semua media yang saya temui, baik itu media elektronik maupun media cetak memberitakannya. Sebenarnya, hal apa sih yang membuat sosok yang satu ini menjadi objek pembicaraan orang-orang seantero Indonesia, baik dari kalangan politis maupun sipil?
Marilah kita menengok sedikit ke belakang. Apakah anda masih mengingat kasus dana talangan bank Century? Nah….Nama Sri Mulyani adalah salah satu orang yang –sangat- terkait dengan kasus tersebut. Belum selesai masalah tersebut, namanya semakin hangat dibicarakan lantaran pengundurannya sebagai menteri keuangan pada Kabinet Indonesia bersatu dengan alasan akan menduduki sebuah jabatan baru di Bank Dunia di Washington DC Amerika Serikat. Tentunya, pengunduran dirinya yang telah disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut banyak menuai pro dan kontra. Masih banyak tanda Tanya besar terkait dengan keputusannya tersebut.
Mungkin saya – bahkan kawan-kawan pun – tak bisa memungkiri, betapa besarnya peran beliau dalam melepaskan belenggu krisis ekonomi pada tahun 2008 lalu. Ialah orang yang dengan gigih telah mengadakan reformasi di bidang keuangan, khususnya perpajakan dan bea cukai, sehingga perolehan Negara meningkat secara drastis. Sekarang, mau tak mau kita harus mengatakan bahwa ‘kita telah kehilangan salah satu menteri terbaik Indonesia’.
Wanita yang akrab dipanggil ‘Mbak Ani’ ini memang berbeda dengan wanita-wanita dalam dunia perpolitikan di ranah Nusantara pada umumnya. Keberanian beliau dalam menyampaikan yang benar itu adalah benar, dan yang keliru itu adalah keliru cukup menggambarkan sosoknya yang sangat kritis, lugas, dan jernih dalam menyampaikan pendapatnya. Tak pandang siapa yang dinilainya. Seakan-akan syaraf ketakutan telah hilang dari diri beliau, selama hal yang disampaikannya berdasar pada keyakinan diri sendiri. Namun kadang keyakinan tersebut disalah artikan oleh segelintir orang. Kita pun tak bisa menyalahkan mereka yang mengatakan bahwa keyakinan yang dimiliki oleh beliau lebih condong kepada sifat keras kepala, egois, egosentris, otoriter, bahkan arogan, karena secara politis keyakinan yang ada pada beliau lebih rawan dan mendekati sifat-sifat yang disebutkan di atas hal tersebut. Terlepas dari penilaian-penilaian negatif, Doktor Ekonomi ini patut diacungi jempol atas jerih payahnya dalam memajukan perekonomian Indonesia.
Mari sejenak kita melihat prestasi-prestasi yang didapatnya. Oleh Emerging Markets, beliau dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia tahun 2006 pada tanggal 18 September 2006 di sela Sidang Tahunan Bank Dunia dan IMF di Singapura. Tak hanya itu, ia juga terpilih menjadi wanita paling berpengaruh ke -2 di dunia versi majalah Forbes tahun 2008, bahkan menjadi wanita paling berpengaruh ke-2 di Indonesia versi majalah Globe Asia bulan Oktober 2007. Menurut saya pribadi, semua prestasi tersebut memang pantas disandang oleh beliau, hal ini sesuai dengan apa yang telah disumbangsihkannya selama pengabdian kepada Negara Indonesia.
Kembali pada permasalahan pengunduran Sri Mulyani dari jabatan menteri keuangan. Perlu anda ketahui, berbulan-bulan ia telah menjadi target dari premanisme politik. Mereka tak henti-hentinya membentak dan menghardik. Dan ketika media telah dikuasai, maka demonstrasi anti Sri Mulyani – dan Boediono – semakin gencar terdengar. Berisik dan agresif. Kita semua digiring dan dipaksa untuk mengklaim bahwa Sri Mulyani bukanlah lagi sebuah asset pemerintahan SBY. Ia dipaksa menjadi sebuah penyakit bagi perpolitikan Indonesia. Tak ayal lagi, para premanisme politik semakin angkuh ketika mereka telah berhasil meyakinkan Presiden untuk ikut menyudutkan Sri Mulyani.
Perpisahan ini memang berat , tapi juga terlalu ‘membahagiakan’ bagi segelintir orang. Tak perlulah kita menderetkan seluruh kecemasan yang ada, pun tak perlulah menunjukkan kesedihan yang mendalam. Mustahil bagi kita membiarkan Indonesia lumpuh tak berdaya. Intinya, kita harus sanggup menepis sinisme. Kita harus menjadi lebih arif dengan apa yang telah terjadi.
Sebuah fakta yang kita temukan, bahwa politik lebih dominan daripada moral dan profesionalisme. Namun, apakah kita akan berhenti di sini? Tidak!! Reformasi akan tetap terus dilanjutkan. Selama kita masih mempunyai komitmen untuk terus mencintai Indonesia. (Muhammad Qamaruddin)

MENEGAKKAN FATWA YANG TERLUNTA-LUNTA

Setelah menjadi polemik yang serius, akhirnya pada januari 2009, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa rokok adalah haram. tentunya banyak pendapat yang muncul dalam menanggapi hal ini. Baik itu dari kelompok pro, maupun dari kelompok yang kontra.

Tak bisa kita pungkiri bahwa Indonesia adalah ‘surga’ bagi para penikmat rokok. Sebelum adanya fatwa ini, tak ada perhatian yang serius dalam membahas permasalahan ini, baik dari hukum agama maupun dari pemerintah sendiri. Selama ini permasalahan ‘rokok’ seakan-akan bukanlah masalah yang seharusnya diselesaikan bersama-sama. Tak ada tanggung jawab yang jelas. Maka, tak heran kalau merokok telah menjadi sebuah bentuk yang lumrah yang ada di Indonesia. Namun, dengan dikeluarkan fatwa diharamkannya merokok, sepatutnya kita bersyukur karena permasalahan klasik ini sudah mulai dilirik untuk segera diselesaikan.

Sebenarnya, hal ini telah menjadi perdebatan yang sengit. Berbagai pendapat telah dilontarkan.

"Fatwa apakah hukum merokok bisa haram, makruh (tidak baik), mubah (diperbolehkan), mukhtalaf (diperselisihkan) dan tawaquf (ditunda)," kata KH Ma’ruf Amin.

Menurut dia, masalah rokok merupakan masalah berat, karena itu harus ada "hujjah" (alasan) yang kuat, sehingga bagaimana masalah selesai tanpa mengundang masalah lain. "Masih ada pro dan kontra," ujarnya.

Dalam pengambilan keputusan, kita semua tentu tak mau lahirnya masalah yang lain, walaupun pada kenyataaanya masalah yang satu telah terselesaikan. Namun, dalam masalah ini, adanya ketegasan dalam pengambilan keputusan sangatlah diperlukan. Kita semua tidak mau permasalahan ini berlarut-larut tanpa adanya keputusan yang tidak jelas.

Bagi MUI sendiri, pengambilan keputusan bahwa merokok itu haram mempunyai alasan-alasan yang jelas dan kuat.

penelitian modern Badan Kesehatan Dunia WHO memberitahukan bahwa di Amerika kurang lebih 346 ribu orang meninggal setiap tahunnya dikarenakan ‘rokok’. Di Shanghai, hampir 90% dari 660 orang yang menderita penyakit kanker adalah disebabkan oleh rokok. Sementara itu, dr Muchtar Ikhsan mengatakan bahwa Satu batang rokok dapat memotong kehidupan kita selama 5 menit.

Selain pertimbangan dari kesehatan, telah banyak dukungan-dukungan disampaikan oleh berbagai ulama-ulama yang ada di belahan dunia tentang haramnya merokok, seperti Syaikh Ahmad as-Sunhawy al-Bahuty al-Anjalaby, Syaikh Al-Malakiyah Ibrahim al-Qaani dari Mesir, An-Najm al-Gazy al-Amiry as-Syafi'i dari Syria, dan ulama Mekkah Abdul Malik al-Ashami, Syaikh Muhammad bin Abdul, Wahhab Syaikh Muhammad bin Ibrahim. Bahkan seorang ulama sekelas Dr Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa merokok itu haram karena membahayakan. Demikian disebut dalam
bukunya `Halal & Haram dalam Islam'. Ia juga menambahkan, selain
berbahaya, rokok juga mengajak penikmatnya untuk buang-buang waktu dan harta.

Begitu banyak hujjah-hujjah yang ada untuk pengharaman merokok. Hal ini pun akhirnya dicoba untuk diterapkan di Negara kita Indonesia. Sehingga lahir pertanyaan, apakah hal ini tidak berakibat fatal bagi perusahaan rokok yang ada di Indonesia? Jawabannya adalah iya! Lahirnya fatwa ini tentu akan berimbas kepada perusahaan-perusahaan yang berkelut dalam urusan rokok.

. Menurut Kepala Bagian Humas PT Gudang Garam Tbk (GGRM), Yuli Rosiadi, secara tak langsung, fatwa haram itu akan berpengaruh terhadap operasional perusahaannya. Tidak hanya menyangkut eksistensi perusahaan, melainkan juga nasib ribuan pekerja di dalamnya.

“Dalam jangka panjang fatwa tersebut mungkin akan berpengaruh terhadap perusahaan kami. Ini yang harus kami pikirkan. Bagaimana nasib ribuan karyawan yang kami pekerjakan saat ini,” kata Yuli.

Di sinilah letak konflik yang terjadi dalam menanggapi hal ini. Namun, tak dapat disangkal bahwa arus dukungan terhadap fatwa haram merokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah terus mengalir.

Ketua Bidang Penyuluhan dan Pendidikan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), Fuad Baradja.Menurutnya, fatwa haram merokok bisa menyelamatkan umat manusia.

Dia mengatakan bahwa fatwa haram merokok setidaknya bisa menyadarkan masyarakat akan bahaya rokok. Sebab, dengan fatwa setidaknya bisa menyelamatkan umat.. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Jika ada dari umat Islam sendiri yang tidak terima fatwa tersebut justru aneh.

Mari kita renungi bersama tentang permasalahan ini. Janganlah dipungkiri kalau orang mengatakan bahwa Indonesia termasuk negara aneh dalam masalah rokok. Betapa tidak, dari sekitar 168 negara yang menolak rokok, justru Indonesia sebagai negara miskin yang menerima. Tidak hanya itu, pemerintah seolah membodohi rakyat. Di satu sisi iklan rokok massif, namun edukasi dan informasi bahaya merokok sangat jarang, bahkan bisa dikatakan tidak ada.

Hal itu sangat bertolak belakang di negara maju. Di Australia, setiap bungkus rokok ada gambar mengerikan akibat rokok. Tak hanya itu, agar tidak terjangkau masyarakat, harganya dinaikkan hingga mencapai Rp 100 ribu.

Marilah kita dukung fatwa MUI, demi kemajuan yang ingin kita gapai untuk negeri tercinta, Indonesia.

Muhammad Qamaruddin



Kamis, 29 April 2010

SETITIK AIR MATA UNTUK NADIA


Siang begitu terik. Cahaya matahari seakan mencoba menembus celah-celah kecil yang bertaburan di atap usang yang menaunginya. Peluh terus merembes, mengalir pelan di atas kulit Nadia. Hari yang melelahkan. Tungking[1]-nya masih tersusun rapi di hadapan. Entah mengapa hari ini tak ada yang bergiur untuk membeli jualannya. Padahal ia sudah menunggu dari jam 9 pagi. Nihil.

Perlahan ia bangkit dari tempat duduknya. Dipandanginya kiri kanan jalan. Sepi. ‘Pada kemana orang hari ini?’ Batinnya berujar. Ia pun kembali menuju tempat duduk seraya mengambil kipas tangan yang dari tadi teronggok di samping tempat jualannya.

Tak lama kemudian, sebuah mobil Mazda berwarna merah berhenti tepat di depan jualannya. Dengan tergesa-gesa, sang sopir keluar dan membuka pintu mobil belakang. Seorang wanita paruh baya yang memakai kaca mata hitam besar keluar dari mobil tersebut. Ada rasa girang muncul dari hati nadia. Pembeli pertama! Batinnya.

Barape ani satu?”[2] Ujarnya dengan nada datar.

“1 ringgit saja,” jawab Nadia dengan menyunggingkan senyum termanisnya.

“Aku beli 5,” timpalnya dengan cepat.

Sekejap hajjah.”[3] Dengan sigap Nadia membungkusnya dan kemudian menyerahkannya. “ane jah…[4]

Ngam tu sudah duitnya, 5 ringgit.[5]

awu. Makaseh.”[6] Ujar Nadia.

Tanpa menoleh, pembeli pertama tersebut beranjak dari tempat ia berdiri. Dengan sigap sang sopir kembali membukakan pintu mobil belakang. Nadia sempat memandang sopir tersebut. Sang sopir menyunggingkan senyumnya. ‘Pasti orang indonesia juga!’ katanya dalam hati. Mobil itu pun beranjak pergi meninggalkan Nadia bersama jualannya.

* * *

Indonesia kan?” Tanya Fadli.

“Iya,” jawab Nadia.

“Dari awal juga aku yakin, kalau kamu itu juga dari Indonesia,” lanjutnya. Tangannya mengambil satu tungking dari atas meja dan kemudian memakannya.

“ Sudah lama kerja dengan Hajjah yang kemarin itu?” Nadia melanjutkan percakapan.

“Sudah dua tahun. Tapi InsyaAllah, 7 bulan lagi kontrak kerjaku habis,” jawabnya. Suaranya agak tidak jelas karena makanan yang ada di mulutnya. “Lalu, bagaimana dengan kamu? Sudah lama kerja begini?” Lanjutnya.

“Lumayan lama……”

Telepon berdering. Dengan tergesa-gesa Fadli menjawab telepon tersebut.

“Assalamualaikum….awu…….sekarang?........awu, saya ke sana.” Percakapan terhenti. Telepon kembali dimasukkan ke dalam saku bajunya.

“Kenapa?” Tanya Nadia. Ada rasa ingin tahu.

Hajjah….minta jemput.” Ujarnya. “Aku jalan dulu, nih…uangnya.” Fadli mengeluarkan uang dari dompet yang ia letakkan di kantong belakang celananya. ia berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya.

“Besok-besok beli lagi ya…,” Kata Nadia setengah berteriak. Fadli hanya mengacungkan ibu jarinya.

Mobil Mazda merah berlalu dari hadapan Nadia.

* * *

Waktu merambat pasti. Layaknya sebuah sungai yang mengalir dari hilir ke hulu, ia takkan mungkin kembali lagi ke hilir.

Kedekatan Fadli dan Nadia semakin jelas terlihat. Rasa suka sama suka itu muncul tanpa adanya paksaan. Inilah yang terjadi pada kedua insan ini. Walaupun sama-sama berada di tanah perantauan, tak ada yang bisa menghalangi cinta bersemi di dalam hati mereka.

“Bersediakan kamu untuk menjadi istriku,” tanya Fadli suatu hari dengan wajah serius. Nadia hanya menatap Fadli tenang. Sebelumnya, ia memang telah menduga kalau Fadli akan mengatakan hal ini kepadanya.

“Fadli…bukannya aku tak mau. Tapi…” Nadia tak meneruskan percakapannya.

“Tapi apa?” Dada Fadli agak sesak. Kenapa harus ada kata ‘tapi’, batinnya berujar.

“hmm….Aku harus minta izin dulu dengan orang tuaku.” Nada datar namun tegas tersemburat dari mulut Nadia. Suasana kembali sunyi. Mereka pun saling memandang. “Kita harus pulang ke Indonesia, ke tanah kelahiranku, Banjarmasin….” Nadia melanjutkan percakapannya.

Fadli masih mematung. Namun, jelas matanya menunjukkan kesungguhan yang mendalam. Dengan perlahan Fadli memegang tangan Nadia.

“Kamu percaya aku kan?” Ucapnya dengan sedikit mengeja. Nadia mengangguk lemah, namun matanya tetap saling beradu. Fadli menghembuskan nafasnya dalam-dalam.

“Kita pulang ke kampung halamanmu…,” ujarnya tegas.

* * *

Hidup di Tanah Lambung Mangkurat memang tak semudah yang dibayangkan orang, apalagi jika berasal dari kebudayaan yang berbeda. inilah yang terjadi pada Fadli. Sebagai orang Jawa tulen, memang agak sedikit susah untuk menyesuaikan diri. Namun apalah artinya semua itu, jika melihat senyum manis Nadia. Harapan yang dimiliki Nadia untuk bahagia digantungkannya di pundak Fadli. tentu saja Fadli akan mengenyampingkan semua masalah yang menimpanya demi orang yang dikasihinya.

Dua tahun sudah mereka berumah tangga. Sebelumnya, Fadli membulatkan hatinya untuk tetap tinggal di Banjarmasin bersama Nadia, istri tercintanya. mereka hidup tenang dan damai. Kebahagiaan mereka pun dilengkapi dengan kehadiran sang buah hati, Muhammad Ridho Hafizi, anak mereka yang kini telah berumur 1 tahun lebih. Ia seakan menjadi motivasi bagi mereka. Tuhan memberikan kebahagiaan bagi mereka berdua.

Sejak datang ke Banjarmasin, Fadli yang memang mempunyai jiwa seorang bisnisman mencoba peruntungannya di tanah tempat kelahiran Pangeran Antasari ini. Pada saat itu, ia memutuskan untuk membuka sebuah toko serba ada. Dengan bermodalkan uang yang didapatnya dari hasil kerja kerasnya waktu ia masih di perantauan, ia mewujudkan keinginannya tersebut. Sebagai seorang istri, Nadia selalu mendukung suaminya, apapun itu.

Awalnya, Fadli mengelola Tokonya tersebut bersama Istrinya. Namun sejak Nadia mengandung, Fadli menyuruhnya untuk beristirahat di rumah, hal ini bertujuan untuk menjaga kandungannya. Tentu Fadli tidak ingin terjadi apa-apa dengan istrinya, begitu pula dengan kandungannya.

Hingga kemudian sang buah hati hadir dipermukaan bumi. Betapa bahagianya kedua pasangan ini dengan kehadirannya. Bahkan sejak kehadiran sang buah hati, perlahan-lahan usaha Fadli semakin maju. Saat ini pun Fadli berencana untuk merenovasi ulang tokonya. Ia membuatnya lebih besar, bahkan mungkin ia akan membuka cabang baru di daerah yang lain.

kebahagiaan masih menyelimuti…..

* * *

“Aku tidak tahan lagi…..,” ucap Fadli kepada Istrinya sambil memegang kepalanya.

“Sabar Ka’….,” Nadia mencoba menghibur suaminya.

“Kemarin usahaku sudah bangkrut…..Tak ada yang tersisa….Sekarang keluargamu memusuhiku….Aku dikatakan sebagai orang yang memalukan keluarga…Di mana salahku?” Lanjutnya. Titik air mata mengalir dari mata Nadia. Betapa pilu hatinya mendengar suaminya dicemooh keluarganya sendiri hanya karena usahanya bangkrut. Terlebih lagi Kakaknya Nadia, Zurkani.

“Dari awal aku memang sudah tidak setuju kamu kawin dengan orang Jawa itu,” ucap Zurkani kepada Nadia ketika jelas usaha yang dimiliki Fadli bangkrut. “Dia itu tidak bisa apa-apa! Sekarang….coba kau lihat! apa yang bisa kau dapatkan dari seorang pendatang yang usahanya bangkrut tak bersisa?” Pandangan sinis dari Kakaknya tertuju kepada Nadia.

“Ka’ Zur! Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu…” Tak terasa air mata Nadia jatuh mendengar kecaman dari Kakaknya sendiri.

“Seharusnya kau menerima pinangan dari Kawanku saat itu…,” kata Zurkani sambil menyalakan sebilah rokok.

“Kak!” Teriak Nadia. Emosi Nadia naik saat mendengar ucapan Kakaknya tersebut. “Teganya Ka’ Zur berkata seperti itu.” Air mata Nadia semakin deras mengalir.

“Aku hanya menyampaikan apa yang ingin kukatakan saat ini….” Dengan santainya Zurkani keluar dari rumah. Saat itu, Nadia menangis sejadi-jadinya.

* * *

“Demi Allah Ka’! Apa kau tega meninggalkan aku di sini bersama anak semata wayang kita….” Rintihan tersebut begitu jelas tersirat dari wajah Nadia.

“Aku sudah beristikharah. Dan keputusanku sudah bulat….aku akan pergi lagi merantau ke Brunei Darussalam.” Fadli mengucapkannya pelan.

“Dengan meninggalkan aku di sini?” Tanya Nadia lagi. Fadli diam sejenak.

Ding…Kamu orang asli Banjar. Semua keluargamu ada di sini…Kamu tidak sendirian di sini.” Fadli menghentikan pembicaraaannya sejenak. “Aku pergi bukan berarti aku akan meninggalkanmu. Aku hanya pergi untuk sementara. ingat…Semua ini kulakukan hanya untuk kamu, dan juga Ridho…” Fadli menengok anaknya yang sedang bermain di luar rumah. “Kelak…aku pasti akan kembali lagi…Aku akan kembali membuka usaha di sini…Aku ingin membuktikan kepada keluargamu, aku pasti bisa mengembalikan kesuksesanku dulu.”

“Aku mau ikut…” ucap Nadia rintih.

“Lalu siapa yang akan menjaga Ridho?” Suara Fadli sedikit meninggi. “Tidak…tidak…Aku tidak akan membawa kalian ke sana. Terlalu beresiko. Keputusanku sudah jelas, ding[7]

“Tapi Ka’…”

“Kamu percaya aku kan….?” Ucapan yang dulu juga pernah didengar Nadia. Kenapa ia harus dihadapkan dengan pertanyaan seperti ini? Batinnya berujar.

Hujan turun. Semakin deras, mengiringi kesedihan yang dialami oleh Nadia.

* * *

Sudah tiga tahun Nadia tinggal satu atap dengan Ridho, anak semata wayangnya. Suaminya, fadli sudah lama pergi ke perantauan.

“Kapan kamu balik lagi ke Banjarmasin?” Tanyanya suatu kali di telepon.

“Belum saatnya…Aku pasti balik ke Banjarmasin…dan kita akan hidup bahagia,” ucap Fadli kepada Istrinya. Berpuluh-puluh kali, bahkan beratus-ratus kali Nadia menanyakan hal itu kepada Fadli. Namun jawabannya selalu sama.

Sekarang Ridho sudah besar. Kadang ia bertanya kepada ibunya, “Ma, Abah mana?” Iris hati Nadia mendengar ucapan lugu dari anaknya tersebut. Pedih rasanya melihat anak yang seharusnya mendapat kasih sayang dari seorang bapak, kini hanya dapat melihat photo Abahnya yang tertempel di dinding rumah.

Abah kerja, nak…,” kata Nadia kepada anaknya.

“Kenapa tidak pernah pulang ke rumah?” Tanyanya lagi.

Abah kerja jauh, Nak. di Brunei Darussalam.”

“Lalu, kapan Abah pulang?” Ya Allah! Ingin rasanya Nadia menjerit. Pertanyaan itu juga selalu diucapkannya di dalam kalbunya. ‘Fadli! Kapan kamu pulang? Anakmu sudah besar…’

“Kenapa Mama menangis? Ridho buat Mama sedih ya?” Tanyanya dengan wajah lugu. Dengan sigap menghapus air matanya.

“Tidak….Ridho tidak buat Mama sedih. Mama menangis karena memang mata Mama lagi sakit.” Nadia mencoba untuk berbohong. Ia tidak mau Ridho tahu tentang kesedihan yang sedang dialaminya.

Nadia berjuang sendirian demi anak semata wayangnya. Dengan sedikit uang yang ditinggalkan oleh Fadli dulu, Nadia mencoba untuk membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya. Hal ini dilakukan agar ia tidak terlalu jenuh di rumah.

Fadli tetap mengirimkan uang kepada Nadia setiap bulannya. Ia kembali bekerja sebagai sopir di Brunei Darussalam. Namun, kiriman uang tersebut semakin berkurang setelah memasuki tahun ketiga. Nadia tak pernah mempermasalahkannya. Ia hanya mengharapkan suaminya kembali pulang dan tinggal bersamanya di Banjarmasin.

Ridho menjadi motivasi Nadia untuk terus berjuang menghadapi kehidupan meskipun tanpa kehadiran seorang suami di sampingnya.

‘Allah ada bersamaku…selamanya,’ ujarnya kepada dirinya sendiri

* * *

Nadia sedang melipat baju yang telah kering di jemuran. Hari ini ia tidak membuka warungnya. Ia merasa kurang enak badan. Ridho ketiduran di sampingnya setelah asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Nadia tersenyum melihat buah hatinya tersebut. Ia berdoa semoga kelak anaknya tersebut bisa menjadi seperti Abahnya, yang tak pantang menyerah menghadapi kehidupan. Semoga.

Tuk tuk tuk! Seseorang mengetuk pintu depan. Nadia beranjak dari tempat duduknya seraya mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.

“Iya sebentar,” ujarnya sambil berjalan ke pintu rumah.

“Ya Allah!” Jantung Nadia seakan berhenti berdetak. Waktu seakan berhenti sejenak.

Ding…,” ucap laki-laki itu lirih sambil berjalan memasuki rumah. Tak digubrisnya tas yang tergeletak di sampingnya. Nadia berdiri mematung. perasaaannya bercampur aduk tak karuan. Senang, sedih, benci, semua perasaan itu kini ada di dalam hatinya dalam satu waktu. Tak terasa air matanya jatuh menitik membasahi pipinya.

Laki-laki itu telah berdiri tepat di hadapannya. Dengan wajah sembab, laki-laki itu pun perlahan-lahan memeluk Nadia. Tak ada respon dari Nadia. Ia tetap berdiri membisu.

“Kenapa Ka’…Kenapa?” Ucap Nadia dengan suara yang hampir tak terdengar.

“Aku…Aku minta maaf…,” Fadli pun rupanya tak kuasa menahan air matanya.

“Kamu terlalu lama meninggalkan aku di sini…Kenapa…?” Seakan-akan tak memperdulikan pelukan Fadli, Nadia terus mengigaukan hal tersebut. pandangannya tetap kosong. Air matanya seakan menjadi simbol kesedihannya yang paling mendalam.

Ding…Sekali lagi aku meminta maaf…” Fadli semakin erat memeluk. Perlahan-lahan pun Nadia juga memeluk Fadli seakan ingin menyampaikan keluh kesahnya selama ditinggalkan.

“Aku sendirian di sini…hiks…hiks…” Begitu sendu, begitu pahit, begitu menyedihkan rasanya jika mendengar suaranya tersebut. Fadli melepaskan pelukannya seraya memegang pundak Nadia, dan kemudian mencium keningnya dengan penuh kasih sayang.

“Sekarang…Aku disini…bersamamu,” ucapnya tenang. Disunggingkannya senyum kepada kekasih hatinya. “Ding…mana Ridho?” Sambung Fadli. Nadia mencoba untuk menenangkan dirinya. Fadli pun menyapu air mata yang membasahi pipinya.

“Ridho sedang tidur di dalam. Dia terus menunggu kedatanganmu, Ka’,” jelas Nadia. segera saja ia menarik tangan Fadli. Dengan tergesa-gesa mereka memasuki kamar yang ada di dalam rumah tersebut. Nampak seorang anak kecil sedang tidur pulas di sana. “Itu anak kita…Ridho…Dia sekarang sudah besar,” jelas Nadia kepada Fadli. Dengan langkah gontai, Fadli mendekati buah hatinya tersebut. Ia tidak ingin anaknya terganggu tidurnya karena langkahnya. Fadli kemudian duduk di samping Ridho. Dielusnya rambut anaknya tersebut. Nadia hanya berdiri di sampingnya. Linangan air mata kembali berderai dari mata Fadli. ‘Selama inikah aku telah meninggalkanmu bersama Mama­-­mu di sini’? Ya Allah! Ampunilah dosa-dosaku…’ batinnya berujar.

* * *

20 tahun kemudian

Sebuah Mobil Mercedes Benz memasuki kawasan rumah yang begitu luas. Di dalam mobil tersebut ada seorang pemuda duduk bersama seorang wanita tua. Wajah mereka kelihatan begitu sangat berseri.

Setelah sampai tepat di depan pintu rumah, mobil itu berhenti dengan perlahan-lahan. Pemuda itu pun keluar terlebih dahulu. Kemudian ia segera membukakan pintu mobil di sebelahnya. Wanita tua itu keluar dari mobil tersebut ditolong oleh pemuda tersebut.

“Pelan-pelan, Ma,” ujarnya lembut.

“Iya…” ucap wanita itu pelan. Pemuda itu dengan sigap menolong Mama-nya. Mereka pun berjalan menuju pintu rumah.

Rumah itu sangat besar dengan perabotan-perabotan yang juga serba mewah. pemuda itu menuntun wanita tua itu menuju salah satu kamar yang ada di dalam rumah tersebut.

Mama istirahat dulu…,” ucap pemuda itu seraya membukakan pintu kamar.

“Iya…Mama sepertinya memang perlu istirahat,” jawabnya. Sangat jelas terlihat wajah lelah dari wanita tua itu.

“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu sebelum menutup pintu. Ia menuntun Mama-Nya hingga tempat tidur, kemudian ia tersenyum kepadanya.

“Wa’alaikumsalam,” jawabnya.

Pemuda itu kemudian berjalan menuju ruang tamu. Pada saat berjalan, secara tak sengaja ia melihat photo keluarga yang terpampang jelas di ruangan tersebut. Ia pun berjalan mendekati photo tersebut. Kini ia tepat berdiri di bawahnya.

‘Seharusnya Abah juga ada di photo ini,’ ujarnya membatin.

Muhammad Ridho Hafidzi yang kini telah beranjak dewasa. Seorang anak kecil yang dulu hanya bisa merengek kepada Mama-nya, kini telah bisa menjadi tulang punggung keluarganya, semenjak Abahnya meninggal dunia karena sakit jantung.

Photo yang ada di hadapannya kini adalah photo saat dia wisuda. Hanya dia dan Mamanya ada di sana. Abahnya telah pergi mendahului mereka 10 tahun yang lalu tanpa sempat melihat anaknya kini telah menjadi orang yang sukses.

Diingat-ingatnya kembali perjuangan Mamanya menghadapi kerasnya kehidupan. Hampir seluruh hidupnya dijalaninya sendiri tanpa seorang suami di sampingnya. Begitu berat beban yang harus dipikul. Namun semuanya dihadapi ibunya dengan tabah.

Tak terasa air mata Ridho menggenangi matanya. Dialihkannya pandangannya ke kamar tempat ia tadi mengantar Ibunya.

“Sekarang…saat ini…hanya engkau yang aku punyai. Abah telah lama pergi meninggalkan kita di sini. Aku hanya ingin menjadi pelindung bagimu. Karena aku juga tahu bahwa engkau juga telah berjuang demi keluarga. Sendiri…tanpa ada yang membantu.”

“Ya Allah…janganlah kau cabut salah satu nyawa dari kami, sebelum aku bisa berbakti kepada dia. Aku berjanji, akan melindunginya sampai ajal datang menjemputku…”

Di dalam kamar, wanita itu berbaring di atas ranjang. Senyumnya sangat jelas sekali tersungging di wajahnya yang masih menyisakan kecantikan yang mulai memudar. Setitik air matanya mengalir di wajah tuanya. Di atas dadanya, dipeluknya sebuah photo keluarga. Di sana ada dia, anaknya Ridho, dan juga suaminya Fadli.

“Ya Allah...Telah aku jalani hidup yang Engkau takdirkan atasku. Semuanya…Engkau selalu menyertaiku dalam segala penderitaanku. Sekarang…Engkau telah membuktikan janji-Mu. Ridho sekarang menjadi seperti apa yang aku harapkan…Ia telah menjadi seperti apa yang aku inginkan…”

“Ya Allah…sertailah selalu ia dalam setiap langkahnya, sebagaimana juga Engkau menyertaiku dalam menghadapi kehidupan ini. Aku tak mau masa laluku yang menyedihkan menimpa kepadanya…’

Sayup-sayup terdengar suara azan memanggil. Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allah Maha Besar…Allah Maha Besar.

Banjarmasin, 17 April 2010

Muhammad Qamaruddin



[1] makanan yang ada di negara Malaysia dan Brunei Darussalam. dihidangkan dalam bentuk ‘sate’ (dipanggang). Ia adalah bagian dari ayam, yaitu (maaf!) bagian paling belakang ayam.

[2] “Ini berapa satu?”

[3] “Sebentar Hajjah”; Hajjah biasanya dipakai untuk memanggil seorang perempuan tua di Brunei Darussalalam, walaupun sebenarnya perempuan itu belum naik haji.

[4] “Ini Hajjah”

[5] “Uangnya sudah pas, 5 ringgit.”

[6] “Iya. Terima Kasih.” Awu: pemakaian untuk mengiyakan (Jawaban sopan).

[7] dik; adik. panggilan untuk seorang adik atau seseorang yang disayang.