Selasa, 21 April 2009

Rasulullah makan nasi? -cerita di sekitar saya-

Tv menampilkan tayangan bersiri dari Negara ginseng, Korea. Aku, Pinong, Alai, dan idang duduk bersimpuh di hadapan hidangan makan malam sambil menyaksikan tayangan siuk tersebut. Relak, tak ada beban, malah dari tadi aku senyum-senyum sendiri saat mengamati tingkah laku adik-adikku ini.

Selesai membaca doa makan, kami pun menyantap hidangan yang sudah tersedia. Ada ayam masak habang (makanan khas banjar) yang konon mama (yang di sini) berusaha keras mempelajari masakan tersebut supaya dapat memanjakan lidahku (begitu pula abah) yang asli orang banjar, ada sayur kangkung, ada telur masak merah, ada buah zaitun, ada abon, dan lainnya. Betapa besar nikmat yang dilimpahkan Allah kepada kami semua.

Aku berkonsentrasi dengan apa yang kumakan. Tak banyak berbicara. Adik-adikku pun tak banyak bercakap. Mata mereka masih tersihir oleh tayangan TV pada saat itu. Tak selang beberapa lama, Aliah setengah berteriak memanggilku, “Bang, si Idang makan berantakan!” aku mengalihkan perhatianku kepada si Idang, sang objek pembicaraan, dan benarlah apa yang dikatakan Alai, nasi berhamburan di samping-samping bawah piringnya. Eh, yang dibicarakan malah cuek bebek. Dengan sikapnya, membuatku jadi geleng-geleng kepala. Alai semakin sebal dengan Idang. Pinong cuma menengok sebentar, lalu meneruskan makannya. Matanya pun kembali menjelajahi layar TV.

Setelah beberapa lama kudiamkan, aku pun mengambil tindakan. Aku berkata kepada Idang, “Idang…..,” ujarku lembut.”makan jangan macam tu. Tak baik! Nasi jadi banyak berhamburan di bawah piring.” Tanpa menolehku, dia memandangi nasi-nasi yang berjatuhan di bawah piringnya. Tak ada tindakan selanjutnya. Dia mendengarkan nasehatku, tapi sepertinya masih belum mengerti apa yang harus dia lakukan. Idang meneruskan makannya.

“Idang….., Rasulullah selalu makan makanannya dengan bersih tak bersisa. Karena ini menandakan kesyukuran Beliau terhadap apa yang diberikan oleh Tuhan. Kalau Idang makan macam tu, nasinya banyak terbuang, artinya Idang tidak bersyukur,” jelasku. Idang menghentikan makannya. Pelan-pelan dia mulai membersihkan nasi-nasi yang berjatuhan. Dikumpulkannya nasi-nasi tersebut di satu tempat. Lebih bersih dari yang tadi.

Pinong akhirnya tertarik dengan perbincangan yang berlangsung tadi. TV kehilangan satu penontonnya. Alai bersuka cita seakan-akan ia menang suatu perlombaan. Aku menambahkan lagi, “Idang…..Jika makan nanti, kalau bisa jangan berhamburan lagi ya! Karena dikatakan di dalam sekumpulan nasi yang kita makan, hanya ada satu yang ada berkahnya. Nah! Apakah Idang tahu kira-kira yang mana yang ada berkahnya?” tak ada jawaban. Sepertinya ada rasa bersalah menghinggapinya. Matanya liar memandangi nasi yang ada di depannya. Rupanya dia mencari nasi berkah yang kumaksud tadi.

“Makan dulu lah Dang! Intinya makan jangan berhamburan lagi ya! Supaya nasi yang beberkah tersebut Idang dapatkan,” ujarku. Keadaan kembali tenang. Kami melanjutkan acara makan. Tiba-tiba Pinong bertanya kepadaku,” Bang…..zaman dulu, Rasulullah makan nasi jua kah?”

Sungguh aku terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Aku sudah salah sangka dengan yang anak yang satu ini. kusangka dia acuh tak acuh dengan perbincangan yang telah berlangsung. Rupanya otaknya terus berputar memikirkan keterangan-keterangan yang yang kuberikan untuk Idang. Beberapa saat aku sempat terdiam, lebih tepatnya aku terkejut dengan pertanyaan yang tidak kubayangkan sebelumnya. Bahkan hati kecilku pun juga berkata,’iya juga ya! Masa Nabi makan nasi?’ begitu celotehnya.

Tapi betapa malunya aku jika tidak bisa menjawabnya. Maka kujawab sekenanya saja tapi meyakinkan.

“Begini Pinong, ini bukan berkenaan dengan nabi makan nasi atau tidak, tapi lebih kepada makanan yang berantakan dan berjatuhan, atau tentang bagaimana kita mensyukuri makanan yang diberikan Tuhan kepada kita.”

“Kata Abang tadi, di antara nasi-nasi yang kita makan, hanya ada satu yang ada berkahnya. Macam mana tu? Makanya saya tanya apa Rasulullah makan nasi juakah?” Dia kembali bertanya.

“Tentu semua orang telah mengetahui bahwa tidak ada nasi pada zaman Rasulullah, dan itu hingga masa sekarang, Pinong! Kenapa? Karena nasi bukanlah makanan pokok untuk daerah Timur Tengah tempat lahirnya rasulullah! Mereka makannya roti. Nah! Pada zaman Rasulullah pun makannya roti juga. Maksud abang tadi begini Pinong, kesyukuran! Ingat! Kesyukuran yang kita miliki! Nabi selalu menghabiskan makanan yang dimakannya. Oke! Kita misalkan di sini Beliau makan roti, dikatakan bahwa Beliau meyakini bahwa rempahan-rempahan roti pun bisa jadi adalah berkah dari satu bentuk roti, artinya mau tidak mau Beliau harus makan seluruh roti tanpa ada sisa jika mau mendapatkan berkah. Itulah yang Abang maksud! Jika itu diumpamakan adalah nasi, mungkin hanya salah satu dari nasi yang kita makan yang ada berkahnya,” jelasku panjang lebar. Tak tahu apakah keterangan yang kuberikan ini benar atau salah pada saat itu. Aku memang harus mengakui masih minimnya pengetahuanku.

“oh begitu ya….,” hanya itu tanggapannya. Jelas! Sangat jelas sekali ketidakpuasan akan keterangan yang kusampaikan padanya tadi. Masih ada yang mengganjal. Kurasa dia tidak mau menyulitkan abangnya yang juga saat itu kebingungan mencari jawaban.

Sikap kritis Ali memang suatu keistimewaan tersendiri yang dimilikinya. Dia selalu tidak menerima suatu pernyataan jika hal tersebut masih terasa mengganjal di hatinya. Dia tidak akan menerimanya mentah-mentah sebelum jelas di kepalanya.

Mungkin karena keterkejutanku akan pertanyaan tersebut, makanya jawabanku yang kusampaikan sangatlah tidak memuaskan. Namun beberapa hari setelahnya, aku kembali menjelaskan perihal tersebut. Dan aku baru menyadari ada yang salah dari keteranganku kepada Idang maupun kepadanya sebelumnya. Alhamdulillah, dia paham.

Anda pun mungkin sekarang sudah tahu jawabannya.

Tidak ada komentar: