Minggu, 26 April 2009

WAKTU HANYALAH WAKTU [ -cerpen- ]

“Nama saya Ion”, jawab lelaki yang duduk di samping kursinya. Fandi menganggukkan kepalanya seraya tersenyum kepadanya. Lelaki itu membalasnya. “Kalau Mas siapa namanya?” Tanyanya balik. Fandi yakin kalau lelaki yang mengaku namanya Ion ini lebih tua darinya.

“Nama saya Fandi,”jawabku singkat.

“Dari mana?” Tanyanya lagi.

“Saya? Rumah di sini?”

“bukan bukan, kota asalnya,”

“Oh….saya dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kalau Mas?”

“Saya dari Lombok.” Dari awal Fandi memang sudah dapat menerka kalau orang yang di sampingnya ini pasti bukan orang Jawa. Dari logat bicaranya yang agak kaku, keras, dan tegas ketika bicara itulah yang membuat Fandi berpikir demikian.

“Mas Ion…..” Pembicaraan Fandi terhenti sejenak ketika seorang kernet perempuan mengulurkan tiket Bas di hadapan. Kernet perempuan? Bukan laki-laki? Yah, hal tersebut memang sudah lumrah di Brunei. Bahkan hampir semua Bas, kernetnya seorang perempuan.

Setelah membayar 1 ringgit Brunei, Fandi kembali meneruskan pembicaraannya yang sempat terhenti. Dilihatnya pun Ion sudah membayar tiket Bas.

“Mas sudah lama di sini?” Tanya Fandi.

“Baru 1 tahun. Kalau kita?”Fandi tertawa kecil mendengar pertanyaan tersebut.

“Kalau Mas baru 1 tahun, saya baru 1 bulan kurang 1 minggu.” Ion menggelengkan kepalanya seraya menyunggingkan senyumannya.

“Visit?”

“Iya.” Keadaan hening sejenak, berganti suara deru bas yang ingin berangkat meninggalkan stasiun bas. Menyisiri jalanan perlahan-lahan.

“Mau ke mana Mas?” Fandi terus menanya.

“Saya mau ke kedutaan Indonesia,” jawabnya tenang.

“Oh ya! Sama dong! Saya juga mau ke sana!” Fandi senang sekali ketika tahu kalau Ion juga mau ke kedutaan Indonesia. Terus terang ini adalah kali pertama Fandi pergi ke kedutaan. Maklum, belum lama di Brunei, belum berpengalaman.

“Kamu lihat tidak orang-orang yang naik Bas ini?”Fandi menolehkan kepalanya ke belakang karena waktu itu mereka memang duduk di kursi paling depan.

“Emangnya kenapa Mas?”

“Hampir semua orang yang ada di bas ini orang Indonesia. Dan saya rasa mereka juga mau ke kedutaan,” jelas Ion. Fandi menoleh lagi ke belakang.

“Begitu ya Mas?” Fandi kurang yakin dengan pernyataan Ion. Ion menganggukkan kepalanya untuk meyakinkannya.

“hampir semua orang Indonesia yang naik Bas ini tujuannya pasti ke kedutaan. Sekarang Fandi mengangguk-angguk pertanda paham.

“Saya kira tadi cuma saya dan Mas Ion saja yang mau pergi ke sana. he he, maklum Mas, ini pertama kalinya saya pergi ke kedutaan pakai bas. Wajar kalau tidak tahu. wah, saya harus banyak belajar nih sama Mas Ion.”

“Ah biasa aja.”

“Ngomong-ngomong Mas kerja apa?” Tanyaku lagi.

“Saya kerja bangunan.”

* * *

Ahmad Riadi! Ahmad Riadi! Ahmad Riadi! Fandi terus mengulang nama itu. tujuannya ke kedutaan sebenarnya memang bukan untuk urusan pribadi. Melainkan karena ayahnya yang menyuruh untuk mengambilkan paspor kawannya yang baru saja dibuat di kedutaan Indonesia. Ahmad Riadi! Itulah nama kawan abahnya. Ia takut kalau-kalau ia lupa dengan nama itu ketika dipanggil. Makanya ia terus mengulangnya. Ion juga sedang menunggu panggilan. Dan kebetulan juga saat itu dia juga sedang mengambilkan paspor kepunyaan temannya. Sesaat Ion dan Fandi saling pandang. Ion mengacungkan jempolnya seraya tersenyum kepada Fandi.

Ahmad Riadi!” Seorang petugas kedutaan meneriakkan nama dengan lantang. fandi segera maju ke depan. Petugas tersebut memandang fandi tajam.”Kamu Ahmad Riadi?”

“Bukan. Saya Cuma mengambilkan. Itu punya kepunyaan teman Ayah saya,”terang Fandi. Petugas mengalihkan pandangan ke paspor yang ada di tangannya.

“Fhotonya mana?” Tannyanya sambil menghadapkan paspor yang ada di tangannya ke muka Fandi.

“Fhoto?” Fandi menjadi bingung.

“Iya! Fhotonya! Sudah dikumpul?”

“Aduh! Saya tidak tahu masalah itu Pak. Saya cuma disuruh oleh Ayah saya untuk mengambilkannya,”jelas Fandi.

“Dik! Paspor ini tidak bisa disahkan kalau tidak ada photonya,”ucap petugas itu. Fandi menjadi semakin bingung.

“Jadi gimana ini Pak?” Tanya Fandi lagi.

“Ambil saja dulu fhotonya,”suruh petugas itu.

“yah…Pak. Saya kan rumahnya jauh, masa saya harus balik lagi?”

“Itu kan urusan kamu! Mubarak!” petugas itu memanggil nama berikutnya dan tidak lagi menghiraukan Fandi. Fandi bingung. Sepertinya ia harus menghubungi abahnya. Ion mendatangi Fandi.

Ada apa?” Tanyanya penasaran.

“Nggak, hanya sedikit masalah. Ini nih Mas, fhotonya tidak ada,”Fandi menjelaskan.

“Oh…..!”

“Ion Samat!” Petugas yang lain memanggil nama seseorang.

“Ah! Itu namaku! Aku ke sana dulu ya!” Fandi mengiyakan Ion bergegas ke sana. fandi mengambil HP-nya dan segera menghubungi abahnya.

“Assalamualaikum!”

“Wa’alaikumussalam. Bagaimana?” Tanya abahnya.

Bah, tadi petugasnya mencari fhotonya Mas Ahmad Riadi.”

“Emang fhotonya tidak ada?”

“Tidak ada….”

“Astaghfirullah! Masa tidak ada”

“iya! Memang tidak ada kok!”Fandi meyakinkan abahnya. Abahnya diam sejenak.

“Jadi gimana nih, Bah?” Masih diam.

“Lain kali saja. Kamu pulang saja. Biar Abah saja nanti yang mengurusnya,”ucap abahnya.Fandi sedikit kecewa dengan jawaban itu. Tapi mau apa lagi. “Ada yang lain?” Tanya Abahnya lagi.

“Tidak ada.”

“Itu saja Fandi ya. Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumussalam!” Hp ditutup. Tak beberapa lama kemudian, Ion keluar sambil membawa paspor.

“sudah Mas?” Tanya Fandi segera. Ion mengibaskan paspornya sambil tersenyum.

“Sudah,” jawabnya.” Eh, gimana ceritanya paspor itu?”

“Tadi saya sudah tanya sama Abah saya, katanya nanti saja diurus.” Jawab Fandi perlahan.

“Jadi?”

“Kita balik….”

* * *

Bas melaju cepat, seakan mengejar sesuatu. Sang driver yang mempunyai kumis tebal itu menatap para penumpangnya satu-persatu dari cermin yang ada di atas bas dengan wajah dingin. Dan tidak diragukan lagi kalau sang driver itu berkebangsaan India!

“Saya dari keluarga tidak berkepunyaan, Fandi. sekolah pun saya hanya bisa sampai SD, tidak lebih dari itu.” Ion memulai ceritanya. Fandi terus menyimaknya.”Saya tidak punya keahlian khusus. Hanya fisik yang saya andalkan. Makanya saya cuma bisa menjadi kuli bangunan. Tapi saya sudah sangat bersyukur dengan keadaan ini. Walaupun saya cuma kuli bangunan, saya bisa menghidupi anak istri saya.” Fandi tersendak.

“Jadi Mas sudah kawin?” potong Fandi. Ion mengiyakannya.

“Iya, saya sudah punya istri. Dulu saya kawin muda lho.” Ion menyenggol tangan Fandi.”Tapi kalau saya boleh usul, lebih baik kamu jangan kawin muda deh.”

Tapi si Mas?” Fandi merasa aneh dengan pernyataan yang bertolak belakang tersebut.

“Kalau saya lain ceritanya.” Ion memandang langit-langit bas. Ia menghembuskan nafas dalam-dalam.”saya juga sebenarnya tidak ingin kawin muda. Justru yang ingin kawin muda itu adalah istri saya.”

“Lho?” Air muka Fandi berubah menjadi bingung.

“Istri saya yang ingin cepat-cepat kawin. Padahal saat itu dia baru berumur 16 tahun, dan saya…..saya 18 tahun. Wah! Pasangan sangat muda! “kami memang sudah lama pacaran. Saya kenal dia waktu masih sekolah SD. Dia 2 tahun di bawah saya. Saya sudah dekat dengannya pada saat saya duduk di kelas 6 dan dia masih duduk di kelas 4. yah…hanya dekat, tidak lebih dari itu. tidak ada cinta-cintaan. Kan masih anak kecil.” Ion tertawa. Fandi pun jadi tertawa juga.”kedekatan kami terus berlanjut hingga 4 tahun lamanya. Maklum, kami sama-sama berhenti sekolah, jadi seperti ada ikatan batin yang tumbuh daripadanya. Seiring berjalannya waktu, bunga-bunga cinta merekah di hati saya. Akhirnya pada saat umur saya 16 tahun, saya menyatakan cinta saya kepadanya. alhamdulillah, gayung bersambut, ternyata dia juga suka dengan saya. Kurang lebih 2 tahun kami pacaran.

Kehidupan semakin sulit, mau cari makan pun susah. Saya memang sudah punya pekerjaan, tapi itu hasilnya tidak sebanding dengan pengeluaran. Jauh, sangat jauh.

Di sana saya juga bekerja menjadi kuli, Fandi. Kamu tahu kan betapa sulitnya mencari duit di Indonesia, apalagi jika hanya menjadi seorang pekerja kasar. Kebetulan pada saat itu ada kawan saya yang menawarkan saya untuk sama-sama pergi ke Brunei untuk bekerja. Katanya sih gaji di sini lumayan walaupun hanya menjadi seorang kuli. Usut punya usut, saya memusyawarahkan hal ini dengan ayah saya yang juga satu profesi dengan saya, seorang kuli. Beliau sebenarnya keberatan dengan keputusan yang ingin saya ambil, karena jika saya pergi, maka ayah saya akan hidup sendirian. Ayah saya memang hanya hidup bersama saya. Ibu saya telah meninggal. Keluarga yang lain? Tak tahu.....kata ayah saya sih, kami memang tidak punya keluarga lagi.

Saya sudah bulat dengan pilihan saya, pergi ke Brunei! Apalagi saya sudah menjual beberapa barang berharga yang saya miliki seperti sepeda motor, radio, TV dan yang lainnya. Mau tak mau saya harus melaksanakan keputusan saya ini. Akhirnya ayahnya saya mau melepaskan saya walaupun dengan berat hati.”Fandi terus mendengarkannya.

“Tidak bosan mendengar cerita saya kan?” Tanya Ion kepada Fandi.

“Siapa yang bosan? Teruskan aja Mas! pengalaman Mas saya rasa nanti akan berguna untuk saya.”

“Iya…..juga sebagai nasehat untuk kamu supaya nanti tidak salah dalam mengambil keputusan. Sebagai kaca perbandingan gitu.” Ion membetulkan posisi duduknya.

“Permasalahan belum selesai. Si Anita menentang keras keputusan saya……”

“Tunggu dulu Mas! Anita? Siapa Anita?” Potong Fandi tiba-tiba.

“Oh, saya lupa memberitahukannya. Itu nama istri saya.”

“Oh….”

“saya teruskan?”

“iya iya! Silahkan!”

“Jadi ceritanya pada waktu itu Anita tidak mau saya tinggalkan. Bahkan dia menangis ketika mendengar saya mau pergi ke sini. Saya juga tidak tega, tapi mau apalagi. Saya pun sudah meyakinkannya kalau saya akan kembali 2 atau 3 tahun mendatang. Dan saya berjanji, dengan uang yang saya miliki nanti, saya akan melamarnya. Tapi dia tak mau hal itu. saya menjadi semakin sedih. Saya bingung. Apa yang harus saya lakukan.

“Cinta berat nih ye!” Fandi menyelutuk. Ion tertawa mendengar hal tersebut.

“Kau benar, Anita memang tiada duanya. Saya sangat mencintainya. Entah kenapa pada saat itu, saya begitu yakin kepada cintanya. Sehingga ketika saya mengambil keputusan ini, tidak ada rasa takut sama sekali kehilangan Anita, karena saya yakin Anita akan terus menunggu saya.

Tapi saya terkejut ketika dia meminta saya untuk segera menikahinya sebelum bertolak ke Brunei. Gila bukan! Tahu tidak apa yang saya rasakan pada saat itu?” Ion bertanya kepada Fandi.

“Pasti senang! Iya kan?” Ion menggelengkan kepalanya lambat seraya tersenyum.

“Kamu salah, saya malah ketakutan ketika mendengar hal tersebut.” Fandi ternganga pas seperti lubang tengah di kue donat yang ingin dimakan anak kecil yang ada kursi penumpang di seberang Ion.

“Kenapa jadi ketakutan Mas?”

“Pastilah saya jadi ketakutan! Bayangkan! Saat itu saya tidak punya apa-apa lagi kecuali duit yang pastinya akan saya pakai untuk pergi ke Brunei. Terus, dia pun tahu saya akan pergi ke Brunei, apa itu tidak dipikirkannya? Pokoknya saya tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat itu.

“Mas, itu namanya dia tidak mau kehilangan Mas,” sela Fandi.

“Iya iya, saya juga tahu itu. tapi keputusan itu terlalu ekstrem untuk dilakukan.”

“Lalu? Bagaimana kelanjutannya?”

“Saya menanyakan kepadanya apakah dia sudah yakin dengan keputusan itu. apalagi saya dan dia masih muda. Tapi dia sepertinya mantap dengan keinginannya tersebut.

Eh……saya kira awalnya dia sudah disetujui oleh keluarganya. Ternyata tidak. Dia hanya mengambil keputusan sendiri. Tidak tanya sana-sini dulu.

“Aneh juga istri Mas itu ya….,” Fandi memberikan tanggapan.

“aduh! Dari awal saya bercerita tentang istri saya, kamu baru merasakan keanehan tersebut saat ini?”

“Iya!” Jawab Fandi santai. Ion memukul jidadnya.

“ya udahlah! Saya lanjutkan! Anita terus meyakinkan saya. Saya pun menjadi terharu dengannya. Akhirnya saya mengambil keputusan baru, menikah sebelum pergi ke Brunei!”

“Wow! Hebat ini si Mas!” Potong Fandi.

“Nanti dulu! Ini ceritanya belum selesai. Akhirnya saya melamar Anita. Ayah saya sudah menyerahkan segala keputusan ke tangan saya. Jadi tidak ada masalah dari pihak saya. Yang jadi masalah adalah dari pihak ayah ibu Anita. Mereka menentang keras keputusan ini. Mereka berpendapat perkawinan ini sangat mustahil dan perkawinan ini tidak mungkin berhasil. Tapi Anita angkat bicara dan meyakinkan orang tuanya untuk memberi kesempatan kepada saya. Saya hampir menangis mendengar pernyataannya itu. sehingga saya bertekad di dalam hati saya agar membahagiakan Anita apabila perkawinan ini benar-benar terjadi.

Orang tuanya mengintrogasi saya. Apakah saya betul-betul atau hanya main-main, lalu bagaimana saya akan memberikan nafkah lahir dan batin, dan seabrek pertanyaan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan di sini. Saya jawab apa adanya. Yang pastinya saya punya cinta yang tak akan bisa dinilai dengan segunung emas sekalipun.

Akhirnya mereka menyetujuinya walaupun masih menyimpan segudang pertanyaan. Mereka memberi kesempatan kepada saya.

“Sekarang istri Mas di mana?” Tanya Fandi.

Ada, di Lombok, bersama anaknya.”

“Sudah berapa anaknya Mas?”

“Baru satu, umurnya pun baru 1 tahun, dan…..saya……sampai saat ini belum melihat langsung anak saya itu.”

“Betul Mas?”

“Betul!

“Sampai saat ini?”

“Iya! Saya meninggalkan Anita setelah 1 bulan usia pernikahan. Dan tak disangka saat itu dia sudah hamil. Sebetulnya berat juga meninggalkannya. Tapi ini memang keputusan sejak awal, menikah sebelum pergi ke Brunei. Menikahnya sudah, pergi ke Bruneinya belum.

“Lalu? Istri Mas kan lagi hamil?”

“perlu engkau ketahui, Fandi. yang menyuruh saya habis-habisan pergi ke Brunei pada saat itu justru istri saya.”

“Aneh…..”

“Iya! memang aneh! Tapi bukan berarti dia gila!” Ion dan Fandi tertawa berbarengan.”Pokoknya istri saya tidak ada duanya. Dia menjadi motivasi saya untuk terus bekerja keras di sini.” Fandi melihat jam yang ada di tangannya. Tak terasa sudah 35 menit berlalu. Stasiun bas pun sudah dekat.

“Perjuangan Mas memang sungguh berat.” Fandi memberikan komentar.

“Makanya kalau mau sukses, belajar yang rajin. Kalau perlu sekolah yang tinggi. Supaya bisa membahagiakan orang tua, istri, dan anak. Kamu kan masih muda. Masih banyak waktu. Sedangkan saya…..yah…..walaupun masih muda juga, tapi saya tidak mempunyai waktu lagi untuk memikirkan sekolah, tidak samasekali. Perhatian saya saat ini sepenuhnya tertuju kepada anak istri saya.

Itulah Fandi, benar apa yang dikatakan orang-orang bahwa kebanyakan keinginan untuk menimba ilmu pada seseorang itu akan putus jika dia sudah kawin. Padahal terus terang, Di, saya juga merasa rugi tidak sekolah. Tapi inilah takdir. Intinya dari kehidupan ini kan Cuma mencari cara bagaimana kita bisa masuk surga, menurutku sih hanya itu. walaupun dengan jalan yang berbeda-beda. Itu tak jadi masalah.”

Ion berdiri dari tempat duduknya.”Fandi! sebentar lagi sampai! Itu stasiun basnya sudah kelihatan!”

“Ah! Iya!” Fandi sedikit terkejut karena dari tadi dia masih merenungkan nasehat yang diberikan Ion kepadanya.

Setibanya di stasiun bas, kami saling menjabat tangan.

“Senang bertemu dengan Mas,” kata Fandi.

“Saya pun senang bertemu dengan kamu, semoga pengalaman yang saya miliki ini berguna untuk kamu.”

“Pasti berguna!” Jawab Fandi mantap

“Jika ada umur, semoga kita bisa bertemu lagi. Jikapun tidak di dunia, insya Allah kita bisa bertemu di surga-Nya.”

“Asal jangan ketemunya di neraka, Mas. he he,” celutuk Fandi.

“Ah! Kamu ini bisa aja! Oke! Ketemu lagi! Assalamu’alaikum!

“Wa’alaikumussalam!


by : METAFORA

Tidak ada komentar: