Selasa, 26 Agustus 2008

BISA TAPI TIDAK BISA

BISA TAPI TIDAK BISA

Ketika masih bersekolah di Pondok Darul Hijrah, Martapura, Kalimantan Selatan, saya mempunyai prinsip,”orang lain bisa, kenapa saya tidak bisa?” Akhirnya hampir seluruh kegiatan saya ikuti. Dan jika ada sesuatu yang baru dan saya tidak bisa, maka saya pun akan mempelajarinya. Saya bertekad, semua itu harus saya kuasai, tidak ada pengecualian. Tapi, apakah itu mungkin?
Mungkin, jika semua itu dipelajari dengan baik, diperdalam dengan sungguh-sungguh. Jika tidak? Maka keadaannya akan kurang lebih seperti saya. Kalau ada orang bertanya,”Bisa?”, dengan ragu-ragu saya akan menjawaab,”Bisa, tapi…..,” Saya bisa, tapi bukan keahlian saya! Saya tidak menguasai hal yang ditanya itu. dan ujung-ujungnya memang bisa, tapi tidak bisa!
Kadang ada rasa sesal kenapa dulu saya tidak mempelajari dengan baik. Sebagai contoh, saya dulu pernah mengikuti maulid habsy. Cukup lama saya menjadi anggota Raudatul Jannah (nama kelompok Maulid Habsy di Pondok Darul Hijrah). Tapi karena saya mengikutinya dengan malas-malasan, hanya sedikit ilmu yang saya serap dari sana. Pada akhirnya saya pun berhenti dari kelompok itu.
Saya pun dulu juga pernah ikut Tapak suci (nama sebuah kelompok bela diri). Yang terjadi pun sama dengan maulid habsy, saya berhenti di tengah jalan. Hal ini pun terjadi dengan kegiatan lainnya. saya pernah menjadi anggota klub basket Darul Hijrah, saya pernah menjadi anggota Pakus(Pasukan Khusus), saya pernah menjadi finalis lomba pidato bahasa inggris, saya pernah juara satu menulis cerpen, saya pernah menjadi anggota nasyid, saya bisa main gitar, saya bisa main keyboard, dan banyak lagi kegiatan dan sesuatu yang pernah saya pelajari. Memang sih, pada saat bercerita, akan menjadi suatu hal yang sangat membanggakan karena pernah mengikuti banyak kegiatan, bisa banyak hal. Tapi jika ditanya prakteknya, masih mending jika bisa, tapi kalau tidak bisa? Ih! Malu-maluin! Lebih baik tidak usah bercerita pernah ikut ini, pernah ikut itu, bisa ini, bisa itu, dan sebagainya.
Saya tidak melarang kepada pembaca untuk mengikuti banyak hal. itu lebih afdhol daripada hanya berdiam diri. Yang menjadi masalah adalah keseriusan dalam mengikutinya. saya lebih menyarankan kepada anda, ikutilah banyak kegiatan, pelajarilah apa yang tidak kamu bisa, namun alangkah lebih baiknya (kalau tidak mau ditulis wajib) anda mempunyai satu kebisaan yang benar-benar anda ahli di bidang tersebut. Dan sungguh mengagumkan jika kita bisa semuanya(tapi saya rasa hal ini jarang terjadi, kecuali orang tersebut yang mempelajinya itu sangat cerdas).
Di sinilah kesalahan saya. Niat saya hanya sekedar mengetahui tanpa ada kemauan untuk mendalami. Pada akhirnya hampir seluruh kegiatan yang pernah saya ikuti dan hal-hal yang pernah saya pelajari, menjadi tidak bernilai jika disuruh ke praktek langsung. Ada rasa sesal sedikit, kenapa dulu saya tidak mendalaminya walaupun hanya satu?
Alhamdulillah, sekarang saya mencoba kembali untuk mendalami sebuah hal yang sempat saya lupakan. Dunia tulis-menulis! Saya mencoba untuk mempelajari kembali, semoga ini menjadi salah satu dari keahlian yang saya miliki. Masih banyak hal lagi yang dulu saya pernah mempelajarinya dan mengikutinya, saya kaji kembali. Mudah-mudahan saya bisa, dan tidak malu-maluin jika ditanya.
Dr. Aidh Al-Qarni mengatakan bahwa dulu islam maju karena kebanyakan para cendekiawan islam mempelajari suatu ilmu dan terus mendalaminya sehingga dia menjadi ahli di bidang ilmu tersebut. Sedangkan sekarang, ummat islam semakin mundur karena ingin bisa ini, ingin bisa itu, tapi tidak menguasainya dengan baik.
Yang anehnya malah para orang barat yang memakai cara pandang para cendekiawan islam zaman dulu tersebut. Mereka mempelajari satu ilmu dan terus mendalaminya. sehingga kenyataan tidak bisa ditolak, mereka semakin maju, kita semakin mundur. Yang terjadi pada ummat islam sekarang adalah ketidakadaannya saling tutup menutupi kekurangan, tapi yang ada hanya teriakan tanpa suara,”Mari kita banyak-banyakan kekurangan!”
Marilah kita mengambil ibrah dari cerita nyata yang saya alami ini. semoga ini menjadi bahan renungan bagi kita semua.(metafora)

APA YANG HENDAK ENGKAU CARI DI DARUL HIJRAH

APA YANG HENDAK ENGKAU CARI DI DARUL HIJRAH?

Kalimat ini terpampang jelas di atas Mesjid Nurul Anshar, Cindai Alus, Martapura, Kalimantan Selatan. Kalimat yang begitu menyihir bagi orang-orang yang ingin memikirkannya. Kalimat yang begitu syahdu, namun sarat makna. Kalimat yang akan menjadi filter baru bagi santri-santri yang sedang kehilangan spirit. Itulah Pondok Darul Hijrah! Seakan-akan dengan tegas mengatakan kepada anak-anak yang ingin masuk Pondok Darul Hijrah,”Tidak usah ke sini kalau tidak mempunyai tujuan!”
Pondok Darul Hijrah memberikan kesan kepada para calon santri untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Karena Pondok Darul Hijrah bukan tempat untuk bermain! Bukan tempat untuk hebat-hebatan bisa berolahraga! Bukan tempat untuk bisa bela diri! Bukan tempat untuk trampil berpramuka! Apalagi tempat untuk mencoba-coba sekolah! Sesungguhnya itu semua hanyalah pelengkap di dalam sebuah kesatuan badan, dan bukan wujud badan keseluruhan.
Sering kali para orang tua menyalahgunakan arti dari sebuah Pondok, sehingga apabila mereka merasa anak mereka nakal, maka tidak ada tempat yang paling tepat lagi kecuali memasukkan ke dalam Pondok Pesantren! Dan Darul Hijrah (mungkin) adalah salah satu yang terkena penilaian yang demikian. Sehingga tidak sedikit yang memplesetkan Pondok Pesantren adalah ‘Tempat pembuangan anak-anak nakal’. Masya Allah! Betapa kejinya yang berpikiran demikian!
Memang, Pondok Pesantren mempunyai cara tersendiri ketika membimbing santrinya(muridnya), tidak seperti sekolah-sekolah umum lainnya yang cuma masuk dari jam 07.30 pagi sampai jam 02.00 siang. Pondok pesantren memberikan perhatian penuh kepada seluruh santrinya, dan itu tidak terbatas kepada waktu. 24 jam siang malam! Itulah jam bimbingan yang disediakan di dalam Pondok Pesantren! Karena itulah, tidak sedikit anak-anak yang dulunya ketika di rumah nakalnya minta ampun, pulang dari pondok jadi anak yang berbakti kepada orang tua. Namun sekali lagi ditegaskan! Pondok pesantren bukanlah tempat pembuangan anak-anak nakal! Layaknya Pondok Pesantren lainnya, Pondok Darul Hijrah selalu mengutamakan keinginan anak, bukan keinginan orang tua! Sehingga ketika diadakan sesi tanya jawab, para ustadz pasti akan menanyakan kepada calon santri,” Masuk ke sini(pondok pesantren), keinginan sendiri atau orang tua?” dan juga,”Ke Darul Hijrah, apa yang hendak kau cari?” jawabannya? Pikirkan sendiri!
sekali lagi kepada seluruh anak-anak yang ingin masuk ke Pondok Darul Hijrah, renungkanlah kalimat yang terpampang megah di atas Mesjid Nurul Anshar betul-betul itu,”Apa yang Engkau Cari di Darul Hijrah?” Jangan sampai masuk ke Darul Hijrah, khatamnya(perpisahan) nanti merasa tidak mendapatkan apa-apa karena pada saat masuknya dulu, dia juga malah bingung masuk pondok mau apa, aneh bukan?
Pun tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua murid lama memahami makna sesungguhnya dari arti kalimat itu. kadang ketika ditanyai hal tersebut, mereka malah geleng-geleng sambil menggaruk-garuk kepalanya. Makanya, jadikanlah kalimat tersebut sebagai modal pertama kamu masuk Darul Hijrah! Dengan berpegangan dengan kalimat tersebut, dengan sendirinya kamu akan belajar dengan sungguh-sungguh. Karena sesungguhnya kalimat tersebut berkaitan erat dengan masa depan yang akan kamu peroleh. Dan ketika khataman nanti, kamu pasti akan menuai hasilnya.

إنّ المعهد لكبيرة إلا على الخاشعين